Sejumlah penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) melayangkan gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut diajukan Cepi Arifiana, Dedi Hardianto Garibaldi Marandita, dan Mubarak.
"Tindak pidana pencucian uang yang belum terungkap diduga berjumlah jauh lebih besar," dikutip dalam gugatan tersebut, Jumat (16/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal yang digugat adalah Pasal 74 UU TPPU yang menyatakan penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai ketentuan hukum acara.
Penyidik tindak pidana asal ini merujuk pada pejabat dari instansi yang diberi kewenangan untuk menyidik TPPU yakni kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Jika mengacu pada penjelasan 'penyidik tindak pidana asal' maka semestinya penyidikan kasus TPPU disesuaikan dengan instansi yang ada.
Sementara para penggugat merasa kewenangannya dibatasi akibat aturan dalam UU tersebut. Selain itu, keberadaan instansi yang tertuang dalam UU tidak membawa perubahan terhadap penyelesaian kasus pencucian uang.
TPPU masih banyak ditangani oleh kepolisian sehingga masih banyak kasus yang belum bisa ditangani dengan cepat.
"66,4 persen laporan PPATK masih menjadi beban kerja polisi dan kejaksaan," ujarnya.
Dalam gugatan juga disebutkan bahwa pengadilan telah memutus 549 perkara TPPU pada periode 2005-2020.
Namun berdasarkan data statistik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kasus yang direspons baru 32,6 persen. Sementara 10 persen masih tahap penyelidikan, 8,9 persen masih dalam penyidikan, dan baru 4 persen yang telah diputus.
Selain itu, sebagai penyidik, mereka juga kerap menemukan banyak hambatan di lapangan.
Sebagai contoh yang dialami langsung oleh Mubarak. Dia bertugas sebagai penyidik PNS Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat itu, ia sedang menyelidiki kasus penyelundupan benih lobster yang akan dikirim ke Singapura.
Dalam penyelidikan tersebut, ia menemukan indikasi praktik pencucian uang dalam jumlah yang besar. Namun ia kesulitan untuk menindaklanjuti sebab tidak mempunyai wewenang.
"Apabila dilakukan penyidikan terhadap dugaan TPPU dalam perkara tersebut, maka pemohon IV (Mubarak) selaku PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melanggar peraturan perundang-undangan," tulisnya.
Untuk itu, para penyidik PNS mengajukan gugatan agar UU tersebut dilakukan pengujian ulang.
Selain itu, dalam gugatan tersebut juga mereka menginginkan Indonesia bergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Mereka menilai, Indonesia bisa membuat UU TPPU yang lebih baik jika bergabung dengan FATF.
"Indonesia bisa memiliki peran lebih dalam menyusun kebijakan dan standar internasional terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU," ujarnya.
(yla/pris)