Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mencatat Mahkamah Konstitusi (MK) tahun ini memiliki pekerjaan rumah atau PR untuk memutus perkara gugatan pengujian sejumlah beleid perundangan yang jumlahnya melejit.
Peneliti KoDe Inisiatif, Violla Reininda membeberkan setidaknya ada 38 perkara yang masuk pada 2020 dan tengah menanti putusan. Jumlah tersebut hampir lima kali lipat dari perkara pengujian pada tahun sebelumnya.
"Pada 2019, paling banyak UU KPK, ada 8 perkara pengujian. Tahun ini meningkat lima kali lipat," ujar Violla dalam diskusi virtual, Minggu (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengujian undang-undang diajukan paling tidak terkait 5 undang-undang yang disahkan pada 2020 yakni UU Ciptakerja, UU Keuangan Covid-19, UU Mahkamah Konstitusi, UU Minerba, Perppu Pilkada dan, penetapan Perppu Keuangan.
Kemudian bila diklasifikasikan ke jenis pengujian sepanjang 2020/2021, terdapat enam perkara formil, 12 perkara materiil dan, 20 perkara formil materiil.
Menurut Violla, tingginya gugatan pengujian jadi salah satu indikator bahwa ada persoalan pelik dan krusial pada proses penyusunan UU. Ia merujuk pada UU Cipta Kerja yang menempati posisi UU yang paling banyak diuji.
Rincian gugatan UU Cipta Kerja saja sebanyak 14 perkara masuk yang terdiri atas tiga pengujian formil, lima materiil dan, enam formil materiil.
Peningkatan jumlah perkara, terlebih lonjakan pengujian formil diperkirakan bakal menjadi masalah besar untuk MK. Violla mengatakan situasi ini menjadi sejarah paling mengecewakan atas kinerja MK.
"Pengujian formil yang membludak ini menunjukkan bahwa ada perkara masuk yang jadi residu dari proses pembentukan UU yang kemudian melenceng dari nilai konstitusi, tidak partisipatif, tidak transparan, tergesa-gesa dan tidak deliberatif. [Seolah] ada jarak dengan publik," terang dia.
Sementara revisi UU MK, menurut Violla, rupanya justru tidak menguatkan MK. Alih-alih menjawab atau menyelesaikan problem hukum acara progresivitas hakim, tindak lanjut MK saat memutus perkara, perubahan malah menitikberatkan pada masa jabatan hakim.
Violla menambahkan, membludaknya PR hakim konstitusi tersebut juga bida dilihat sebagai wujud kemarahan publik terhadap substansi UU yang mengecewakan. DPR dan pemerintah dianggap tidak bisa mengakomodasi aspirasi publik.
"MK diharapkan dapat menjadi katalisator pada check and balances system yang mengembalikan proses pembentukan dan substansi undang-undang agar sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi," imbuh dia.
Bertepatan dengan usia ke-17 KoDe Inisiatif juga menyampaikan KTP untuk MK. Tapi bukan KTP berupa Kartu Tanda Penduduk yang lazim dimiliki warga berusia 17 tahun, melainkan KTP yang merupakan kependekan dari Konstitusional Tanpa Paradoks.
"Kami menyampaikan KTP supaya MK memberikan putusan yang tidak memberikan ruang, celah pelanggaran konstitusional lainnya," kata Violla mengungkapkan maksud penyampaian simbolik tersebut.
Berikut sejumlah hal dalam 'KTP' yang perlu diperhatikan para hakim MK.
Tumpukan perkara jadi indikator penurunan kualitas MK. Violla berkata ada harapan agar MK lebih responsif dan serius terhadap pengujian formil.
MK, lanjut dia, sebaiknya membuat penilaian berdasarkan implementasi nilai-nilai demokrasi, negara hukum, prosedur dan kewenangan pembentukan UU, jaminan dan kepastian hukum, persamaan dalam pemerintahan dan perolehan informasi publik.
"Ketika MK melakukan constitutional test, ini implementasi dari nilai-nilai konstitusi. Kita cuma lihat dari pasal 20, tapi pada prinsipnya konstitusi di baca sebagai satu kesatuan yang utuh. Prosedur kewenangan bisa pasal 5 ayat 1, pasal 22, mengaitkan dengan hak konstitusional warga negara. Banyak, asal disinggung untuk menukilkan constitutional test. MK diharapkan memberikan penafsiran yang lebih ekstensif, tidak resisten dan cenderung prosedural," jelas dia.
Pengujian UU mengarah pada kepentingan publik. Perlu hal-hal yang bisa menjadi landasan demi mengubah paradigma yang tidak hanya mendasarkan pada kerugian konstitusional tetapi juga paradigma kepentingan konstitusional pemohon.
"Indikator penilaian yakni, genuine interest pemohon, substansi pengujian yang berdampak pada kepentingan publik, remedi yang dikehendaki ditujukan untuk kepentingan publik. Ini bisa menghindarkan MK dari perkara yang tidak serius," imbuhnya.
MK perlu menggali spirit atau politik atas UU yang diuji. Dengan menggali semangat pembentukan UU, MK dianggap akan mampu menilai apakah substansi UU tersebut menitikberatkan kepentingan publik atau justru sebaliknya.
(els/nma)