Polisi Temukan Senpi Ilegal Milik Bos EDCCash
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri turut menjerat bos perusahaan E-Dinar Coin Cash (EDCCash), Abdulrahman Yusuf dengan pasal kepemilikan senjata api ilegal.
"Diakui bahwa senjata api ini adalah milik dari tersangka AY," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Helmy Santika dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (22/4).
Diketahui, EDCCash merupakan platform investasi bodong menggunakan mata uang virtual alias kripto yang tidak terdaftar. Perusahaan ini telah merugikan setidaknya 57 ribu korban.
Dia menerangkan bahwa senjata api tersebut turut ditemukan pada beberapa orang pengawal. Oleh sebab itu, mereka turut ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun senjata api yang ditemukan penyidik dari bos EDCCash berupa Senjata Api Carl Walther Waffenfabrik warna hitam beserta magazine. Kemudian, dari pengawalnya yang berinisial AH diamankan satu pucuk senjata senapan angin, satu unit parang panjang dan sarungnya, serta satu unit pisau sangkur.
Lalu, lanjut Helmy penyidik turut menemukan satu pucuk Senjata Air Gun Makarov, satu pucuk Air Softgun type Glok, satu buah golok, satu buah pisau, empat butir peluru 9 mm, tiga kotak gotri besi, dan dua butir peluru dari pengawal berinisial AR. Serta dari tersangka PN diamankan sebuah pisau.
Saat ini, penyidik masih mendalami asal usul para tersangka mendapatkan senjata api tersebut.
"Senjata apinya masih akan dikembangkan lagi," tambah dia.
Sebagai infromasi, Abdulrahman merupakan CEO dari EDCCash yang diduga telah melakukan penipuan, penggelapan hingga pencucian uang menggunakan investasi kripto yang ilegal. Dia menghimpun dana investasi dari 57 ribu nasabah.
Modus penipuan dalam perkara ini ialah perusahaan meminta agar para membernya membayar Rp5 juta dengan rincian Rp4 juta untuk dikonversi menjadi 200 koin, biaya sewa cloud sebesar Rp300 ribu dan biaya untuk para upline sebesar Rp700 ribu.
Para korban kemudian dijanjikan keuntungan 0,5 persen per hari, dan 15 persen per bulan. Hal itu bisa dilakukan meskipun mereka tidak bekerja sekalipun.
"Data yang kami punya, ada 57 ribu member. Jumlahnya minimal (investasi) Rp5 juta, kira-kira kurang lebih (kerugian) mencapai Rp285 miliar," kata Helmy.
Namun demikian, kata Helmy, kerugian nasabah secara keseluruhan dapat bertambah lantaran tidak semuanya menyetorkan uang sebesar Rp5 juta. Ada beberapa korban lain yang membayar lebih dari itu.
(mjo/pris)