Insiden hilang kontak kapal selam KRI Nanggala-402 memicu desakan peremajaan alat utama sistem senjata (alutsista). Masalahnya, ada keterbatasan anggaran militer dan masalah strategi prioritas belanja.
KRI Nanggala-402 sendiri merupakan kapal produksi Jerman pada 1979. Berdasarkan analisis sementara TNI Angkatan Laut, kapal tersebut tenggelam pada kedalaman 600-700 meter karena black out saat penembakan torpedo sehingga kapal tidak terkendali.
Sejauh ini, lokasi percis kapal belum diketahui. Namun, TNI memusatkan pencarian kapal selam di sekitar utara pulau Bali, di dekat Celukan Bawang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alutsista kita memang karena terpaksa kita belum modernisasi lebih cepat. Ini mendesak, kita harus modernisasi lebih cepat. Saya yakin dalam waktu dekat, alutsista bisa dimodernisasi tiga matra," tutur Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Kamis (22/4).
Analis militer Soleman B. Ponto menyebut wacana peremajaan alutsista ini kerap terkendala oleh strategi pembelian yang lebih memprioritaskan barang bekas.
"Jangan lagi beli kapal bekas, harus kapal baru. Sekarang sudah harus berani. Selama ini bicara modernisasi tapi yang datang kapal bekas," sindir dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Kamis (22/4).
Diketahui, Prabowo sempat berencana mendatangkan jet tempur Eurofighter Typhoon bekas dari Austria. Rencana ini mendapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil.
Soleman mengakui alutsista bekas ini harganya lebih murah dan bisa mendapat lebih banyak armada. Masalahnya, biaya pemeliharaan dan potensi kecelakaannya jadi lebih tinggi.
"Lebih baik punya dua [alutsista] baru daripada 5 bekas. Masalahnya biaya maintenance tinggi. Kelihatannya belinya murah. [Biaya] yang paling tinggi itu merugikan manusianya. Mendidik komandan kapal enggak mudah, apalagi permesinan dan peralatan," tuturnya.
"Jangan pikir lagi kapal tua. Sudah tiga kapal tua tenggelam," ucap dia, yang merupakan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI itu.
Kapal-kapal berusia tua yang tenggelam itu antara lain KRI Pati Unus-384 (2016), KRI Sibarau-847 (2017), KRI Teluk Jakarta 541 (2020). "Yang baru-baru tenggelam tuh enggak ada," imbuhnya.
Terkait insiden KRI Nanggala-402, Soleman menyebut ke depannya perlu ada pengadaan alutsista berupa kapal selam penyelamat. Saat ini, Indonesia masih mengandalkan armada milik negara luar untuk melakukan evakuasi.
"Pelajaran [dari kasus KRI Nanggala] bahwa kita membutuhkan kapal selam rescue. Dulu [pernah punya] 12 [kapal selam], tapi enggak pernah punya kapal khusus rescue," ujarnya.
Di acara yang sama, Anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi menyebut peremajaan alutsista, termasuk pengadaan kapal selam, pada prinsipnya sudah masuk program minimum essential force (MEF) tahap III yang berakhir pada 2024.
"Peremajaan itu perlu, tapi kan kita mengalami beberapa kendala, termasuk persentase [anggaran pertahanan] terhadap PDB (produk domestik bruto) yang masih sangat rendah dari ideal," kata dia.
"Di bawah 1 persen [dari PDB], 0,8 [persen]. Idealnya, [anggaran pertahanan itu] di atas 1,2 persen dari PDB," imbuhnya.
Menurut dia, keberadaan alutsista tua tak lepas dari penyetopan peremajaan alutsista pada periode 1998 hingga 2008. Pemerintah kemudian mencanangkan MEF dalam tiga tahap untuk mengejar ketertinggalan.
![]() |
"Postur TNI AL sangat-sangat kurang, kapal sangat tua," ucap Bobby, yang merupakan politikus Partai Golkar itu.
Soal pengadaan alutsista bekas, dia mengaku itu merupakan strategi sekaligus hasil kompromi terkait keterbatasan anggaran militer. Terlebih, katanya, peremajaan bisa berarti "meremajakan yang tua atau menambah atau mengganti formasi".
"Kalau mau idealnya semua baru. Cuma ada keterbatasan penganggaran yang membuat militer, TNI, Kemenhan harus pintar lah memainkan strategi juga," ujar dia.
"Mungkin ada satu kompromi, yang paham militer lah, kenapa [beli] bekas. Kami hanya memastikan legislasi, payung hukum, cek ricek, anggaran bisa terserap dengan baik, enggak ada kapal enggak layak," jelasnya.
Terkait pengadaan kapal selam, Bobby menyatakan jumlah idealnya, mempertimbangkan luas wilayah, adalah 12 unit. Saat ini, TNI AL baru memiliki lima unit. Hal itu pun sudah tercantum dalam Rencana Strategis IV atau MEF III.
"Idealnya kapal selam 12, karena luas wilayah. Baru tiga [pengadaan], nanti tambah tiga, jadi totalnya delapan. Kita memastikan ada, dan tidak mengganggu program-program pembangunan yang lain," urai dia.
Ia mengungkapkan 12 pengadaan kapal selam ini termasuk dengan kapal selam penyelamat.
"Kejadian hari ini, seperti submarine rescue atau ocean going ship termasuk renstra 5 tahun ini akan dibeli," ujarnya.