Upaya modernisasi alutsista sebenarnya sudah dipetakan melalui Minimum Essential Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum yang dicanangkan pemerintah sejak 2007.
MEF dibagi ke beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap I dimulai pada 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024. Harapannya MEF sudah dipenuhi 100 persen pada 2024.
Namun, Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapati capaian MEF tahap II masih mandek. Seharusnya, pada 2019 MEF sudah mencapai target 75,54 persen. Realitasnya, MEF yang dipenuhi baru 63,19 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Progres pemenuhan target MEF sepanjang tahap II bisa dibilang minim. Pada 2014, MEF berada pada 54,97 persen. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun pemenuhan alutsista hanya meningkat 8,22 persen.
"Percepatan pemenuhan MEF sangat dibutuhkan, mengingat hingga tahap II realisasi pemenuhan MEF masih di bawah dari target yang ditetapkan," tulis dokumen yang diterbitkan 5 April 2021 itu.
DPR mendapati capaian MEF paling rendah di TNI Angkatan Udara. Pemenuhan alutsista di TNI AU hanya 45,19 persen. Sementara TNI Angkatan Darat 78,82 persen, dan TNI Angkatan Laut 67,57 persen.
Analisis DPR pada 2020 juga mencatat sebelum MEF, TNI AU memiliki 211 pesawat, 17 radal dan 20 penangkis serangan udara (PSU). Hingga MEF tahap II rampung, penambahan alutsista di TNI AU hanya 56 pesawat, 3 radal dan 4 PSU. Ini jauh dari realisasi yang dilakukan TNI AD dan TNI AL.
Masih mengutip dokumen yang sama, dengan jumlah penduduk sekitar 262,7 juta, Indonesia memiliki 400 ribu personel militer dan 400 ribu personel cadangan. Sementara, anggaran pertahanan yang dikerahkan rata-rata mencapai US$7.600 juta atau Rp110,4 triliun per tahun.
Anggaran pertahanan Indonesia kalah jauh dari Singapura yang hanya berpenduduk 5,9 juta jiwa, namun memiliki 72.500 personel militer aktif, 312.500 personel cadangan, dan anggaran militer US$11.200 juta atau Rp162,7 triliun.
Sudah anggarannya terbatas, mayoritas anggaran pertahanan di Indonesia dipakai untuk belanja pegawai. Contohnya pada 2020, Indonesia menganggarkan Rp127,35 triliun untuk bidang pertahanan.
Anggaran sebesar itu 41,6 persennya dipakai untuk belanja pegawai, 32,9 persen untuk belanja barang, dan 25,4 persen untuk belanja modal. Sementara, anggaran untuk program modernisasi alutsista dialokasikan khusus sebesar Rp10,86 triliun.
Pengamat militer dari MARAPI Consulting Beni Sukadis menilai lambatnya pemenuhan MEF terhambat anggaran pertahanan dan belanja alutsista yang terbatas. Sehingga ia menilai seharusnya Kementerian Pertahanan mengubah strategi pemenuhan MEF.
![]() |
"Sebenarnya MEF menurut saya harus diubah. Harus ada redefinisi dari konsep MEF ini. Dua tahun lalu saya pernah diminta [Kemenhan] mengulik ini. Tapi enggak jadi, tiba-tiba [upaya itu] mundur," cerita Beni kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/4).
Perubahan MEF ini, jelas dia, fungsinya untuk memastikan militer Indonesia bisa menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar, namun dengan anggaran yang seadanya. Dalam hal ini, Prabowo harus putar otak.
Dengan anggaran yang minim, Beni menilai seharusnya Kementerian Pertahanan menyusun strategi pemenuhan MEF berdasarkan prioritas ancaman yang paling tinggi potensinya di Indonesia.
"Menurut saya, [prioritas utama adalah] kapabilitas deteksi pesawat atau kapal asing yang memasuki wilayah kita, ancaman penculikan ABK (anak buah kapal), ancaman kelompok teroris di perbatasan, dan kemampuan membantu pemerintah menangani bencana alam," tuturnya.
Setelah menyusun strategi berdasarkan prioritas, baru ia menyarankan pemerintah mulai melirik sumber anggaran, baik dari luar maupun dalam negeri. Artinya, Prabowo harus bisa melobi Kementerian Keuangan atau pihak asing untuk memperhatikan atau mensponsori belanja alutsista.
Beni sendiri mengapresiasi upaya Prabowo dalam dua tahun terakhir yang bersafari mencari alutsista di negara-negara luar. Namun, ia menekankan percepatan pemenuhan MEF agar mencapai target di 2024.
Prabowo sendiri sempat mengakui ada dilema dalam belanja alutsista; di satu sisi, alutsita modern dibutuhkan. Di sisi lain, harganya sangat mahal.
"Alutsista di bidang pertahanan memang cukup mahal. Bahkan bisa saya katakan ya sangat mahal. Sangat mahal," kata dia, di Bali, Kamis (22/4), "Dilema harus mengutamakan pembangunan kesejahteraan, tapi menjaga kemampuan pertahanan supaya kedaulatan kita tidak diganggu."
(fey/arh)