Sunan Bonang dalam Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto (2017) memiliki nama asli Mahdum Ibrahim. Ia putra keempat Sunan Ampel dengan ibu Nyai Ageng Manila putri Arya Teja, Bupati Tuban yang diperkirakan lahir pada 1465 Masehi.
Beberapa silsilah menyebut memiliki darah keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib, menantu nabi.
Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, Budi Sulistiono dalam Walisanga dalam Pentas Sejarah Nusantara (2014) menyebut Sunan Bonang merupakan saudara seperguruan putra Brawijaya V Raden Fatah dan Sunan Giri di pesantren ayahnya, Sunan Ampel. Ia sempat berguru pada Syaikh Maulana Ishaq, orang tua Sunan Giri ketika diutus Sunan Ampel untuk belajar Islam ke Pasai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua dosen Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Siti Maziyah dan Rabith Jihan Amaruli dalam Walisanga: Asal, Wilayah dan Budaya Dakwahnya di Jawa (2020) menyebut Sunan Bonang pada mulanya menyebarkan Islam di Kediri. Wilayah tersebut merupakan pusat ajaran Bhairawa Tantra, sebuah ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Ajaran ini banyak menggunakan mantra-mantra dalam ritual pemujaannya.
Sunan Bonang melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Ia menciptakan tembang-tembang Jawa, wayang, dan sastra sufistik. Ia juga menciptakan salah satu alat musik tradisional bernama bonang yang bentuknya mirip dengan gong dalam ukuran kecil.
Sunan Bonang memainkan bonang itu sendiri sambil menyanyikan suatu tembang. Orang-orang kemudian berbondong-bondong mendatanginya. Sunan Bonang sendiri juga menjelaskan makna yang terkandung dalam tembang itu: muatan ajaran Islam.
Perjalanan dakwah Sunan Bonang di Kediri pernah gagal lantaran menggunakan cara yang tidak apik. Babad Daha-Kediri menyebutkan, dalam dakwahnya di daerah pusat ajaran Bhairawa Tantra itu, Sunan Bonang pernah menggunakan cara-cara yang cenderung bersifat kekerasan.
Sunan Bonang diceritakan sebagai sosok yang kerap merusak arca yang dipuja para penduduk. Ia juga mengubah aliran Sungai Brantas, membuat suatu daerah yang biasanya teraliri menjadi kekurangan air, sementara daerah lain yang enggan menerima ajarannya kebanjiran.
Lantaran gaya dakwahnya yang keras, Sunan Bonang justru menghadapi sikap penolakan penduduk, baik dalam wujud konflik maupun pertarungan fisik. Kegagalan ini juga tercatat dalam Babad Sangkala (1548 Masehi).
Sunan Bonang kemudian pergi ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak atas permintaan saudara iparnya, Raden Patah, seorang raja pertama Kesultanan Demak. Hal ini disebutkan dalam Hikayat Hasanuddin. Di Demak, ia tinggal di sebuah desa yang bernama Bonang. Daerah inilah yang menjadi asal usul nama yang melekat padanya.
Dari sana, berbekal pengalaman dakwahnya yang gagal di Kediri, dia lantas melakukan pendekatan asimilatif (peleburan) corak Islam dalam budaya Jawa. Dia memantapkan kepiawaiannya dalam kesusastraan dan kesenian. Karyanya bernama Primbon Bonang, memuat ajaran tasawuf. Selain itu, Sunan Bonang juga memiliki karya berupa Serat Wujil yang memuat ajaran rahasia mengenai hakikat ketuhanan.
"Satu-satunya dakwah saat itu adalah masuk lewat pintu budaya. Selama proses islamisasi itu tidak keluar dari prinsip-prinsip syariah," ungkap Guru Besar Ilmu Sejarah dan kebudayaan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Dr Sulasman saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, akhir pekan lalu.
Salah satu cara yang dilakukan Sunan Bonang adalah melalui permainan alat musik berupa bonang yang berjumlah enam, memiliki arti rukun iman. Dalam praktik-praktik keseniannya, Sunan Bonang menyematkan makna-makna ajaran Islam.
Dengan cara dakwah seperti itu, kata Sulasman, masyarakat yang sebelumnya berada dalam pengaruh ajaran Hindu-Budha beralih menjadi Islam dengan tanpa paksaan dan peperangan.
"Itu mengapa proses Islamisasi berjalan dengan mulus di tanah Jawa," ujarnya.
(ain/iam/ain)