Kabag Humas Pemkab Tapanuli Selatan Ismut Siregar memastikan insiden tanah longsor itu murni bencana alam akibat tingginya curah hujan selama tiga hari berturut-turut.
"Perlu ditegaskan bahwasanya kejadian ini murni bencana alam akibat tingginya curah hujan selama tiga hari berturut-turut, sehingga kejadian tersebut tidak ada kaitannya dengan aktivitas di PLTA Batang Toru," ujar Ismut.
Ismut menjelaskan, sejak Kamis malam, TNI, Polri, dan BPBD Tapsel telah melakukan pencarian dan evakuasi korban tanah longsor. Namun, sampai saat pihaknya belum bisa memastikan berapa korban dalam insiden tersebut karena tidak ada kesaksian di lapangan yang dapat memberikan keterangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dapat kami sampaikan bahwa kejadian ini berada di tanah rakyat atas nama D Siregar dan di lokasi tersebut ada rumah yang ditempati seorang penjaga tanah D Siregar bermarga Waruwu," jelasnya.
Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut menilai proyek PLTA Batang Toru sejak awal menimbulkan bencana ekologis di kawasan hutan Batang Toru.
"WALHI sebenarnya sudah menduga bencana longsor di kawasan proyek PLTA Batang Toru ini akan terjadi karena proyek ini dikhawatirkan menimbulkan bencana ekologis di kawasan hutan Batang Toru," kata Direktur WALHI Sumut, Doni Latuperisa.
Doni mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, wilayah tersebut merupakan daerah rawan gempa dengan kontur tanah yang labil.
Lokasi pembangunan PLTA Batang Toru berada di zona merah dekat dengan patahan, artinya lokasi proyek berpotensi meninbulkan bencana ekologis baru yang berdampak pada sosio-ekologis masyarakat.
"Ini bukan kejadian pertama di mana sebelumnya pada Desember 2020 juga terjadi longsor yang menyebabkan hilangnya operator excavator di sana. Sebab pembangunan PLTA Barang Toru yang dilakukan PT NSHE minim mitigasi kebencanaan," jelasnya.
WALHI Sumut meminta agar proyek di wilayah rawan bencana termasuk PLTA Batang Toru dihentikan. Selain itu evaluasi proyek-proyek yang beroperasi di Lansekap Batang Toru.
(dmi/fnr/pris)