Salah satu penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanaan Edhy Prabowo, Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengaku bisnis ekspor bening benih lobster (BBL) tidak menguntungkan.
Hal ini Suharjito sampaikan ketika diperiksa sebagai saksi terkait kasus suap dan korupsi ekspor BBL di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
"Usaha BBL ini enggak ada untung, enggak ada untung. Saya sendiri 12 kali ekspor cuman untung 40 juta, yang lainnya rugi," kata Suharjito menjawab pernyataan Jaksa KPK di PN Jakpus, Rabu (5/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Suharjito, harga ekspor benur ditentukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, harga tersebut dirasa terlalu mahal.
Dalam bisnis BBL, eksportir mesti membayar biaya operasional Rp1.800 per ekor benur. Biaya ini diserahkan ke PT Aero Citra Kargo (ACK) dan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI).
Dari biaya tersebut, sebanyak Rp350 per ekor benur merupakan jatah PT PLI. Sementara, Rp1.450 per ekor benur menjadi bagian PT ACK.
"Ya, kita kan memang bisnis sudah menghitung itu kemahalan, tapi di dalam kemahalan itu tentunya pasti ada keuntungan 1.500 (rupiah). Nah 1.500 itu memang ACK, ya," ucap Suharjito.
Jaksa lantas menanyakan alasan Suharjito tetap melakukan bisnis ekspor BBL meskipun biaya operasional terlalu mahal. Suharjito mengaku bahwa ia tidak memiliki pilihan lain.
Menurut Suharjito, saat ia bergabung bersama Direktur PT Grahafoods Indo Pasifik Chandra Atsan, Chandra yang juga menjadi ketua Persatuan Dunia Lobster Indonesia (Perduli) memberitahu terdapat banyak keluhan dari anggota.
"Nah, itu saya bertemu, kan punya gudang, lalu Chandra cerita untuk ACK itu sudah komitmen dengan pihak KKP sehingga harganya Rp1.800," tuturnya.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saksi Ardi Wijaya selaku Manajer Ekspor Impor PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) menyebut PT ACK merupakan perusahaan milik Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Namun, kepemilikan Prabowo atas PT ACK dibantah oleh Edhy dan juru bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak.
Suharjito lantas membeberkan percakapannya dengan Chandra. Keduanya mengeluh karena dalam menjalankan bisnis ini, modal yang mereka keluarkan sebagai comitment fee (suap) dan biaya ekspor belum kembali.
"Dia ngomongnya gitu, waktu itu belum balik modal, sama-sama (perusahaan) pada belum balik modal uang yang dikeluarkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Suharjito menjelaskan bahwa dalam bisnis ini, pihak Vietnam yang akan membeli benur itu, bisa memperkirakan harga satuan BBL. Sebab, mereka telah mengetahui kuota ekspor per satu BBL.
![]() |
Ia mencontohkan, jika eksportir membeli 10.000 ekor benih lobster pada nelayan, pembeli asal Vietnam telah menghitung 10.000 ekor x Rp1.800 plus PDB Rp1.000 (Rp2.800).
"Nah, nanti dikasih selisih (keuntungan) paling harga Rp1.000 atau Rp1.500," terangnya.
Meski demikian, keuntungan sebesar Rp1.000-1.500 per ekor tidak selalu ia dapatkan. Sebab, tidak sedikit benih lobster mati atau mengalami penurunan kualitas.
"Tapi saya sebenarnya tidak utamakan di ekspor BBL, saya lebih ingin budidaya karena saya sudah belajar budidaya," terangnya.
Sebelumnya, Suharjito divonis 2 tahun bui dan dan denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan lantaran menyuap Edhy Prabowo dengan uang sebesar US$103 ribu dan Rp706.055.440,00 (atau totalnya sekitar Rp2,14 miliar).
Suap ini dilakukan guna mempercepat proses rekomendasi pemberian izin budi daya. Rekomendasi ini menjadi salah satu syarat pemberian izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada PT DPPP.
Suharjito didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(iam/arh)