Penyidik KPK Novel Baswedan mengungkap kritik atas penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka menyeleksi pegawai untuk alih status menjadi pegawai negeri sipil. Novel sendiri mengaku sudah mengetahui kabar bahwa dirinya merupakan satu dari 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus ujian.
Novel menyebut pertanyaan dalam TWK bermasalah, lantaran diberikan kepada orang-orang yang nyatanya telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara.
"Penjelasan yang akan saya sampaikan ini bukan hanya soal lulus atau tidak lulus tes, tapi memang penggunaan TWK untuk menyeleksi pegawai KPK adalah tindakan yang keliru," ujar Novel kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel dalam keterangan tertulisnya menyebut beberapa di antaranya terkait pendapat atas kebijakan pemerintah.
Jawaban Novel: Saya merasa tidak ahli bidang politik dan ekonomi, dan tentunya karena adalah penyidik Tindak Pidana Korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara dan inefisiensi yang menjadi beban bagi tarif listrik.
Jawaban Novel: Dalam melakukan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yang intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan.
Sehingga respons saya akan mengikuti perintah Undang-undang yaitu melaporkan bila ada yang melakukan intervensi.
Jawaban Novel: Sebagai pribadi saya tidak merasa ada yang dirugikan. Tetapi sebagai seorang warga negara saya merasa dirugikan terhadap beberapa kebijakan pemerintah, yaitu di antaranya adalah UU Nomor 19/2019 yang melemahkan KPK dan ada beberapa UU lain yang saya sampaikan.
Hal itu saya sampaikan karena dalam pelaksanaan tugas di KPK saya mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan/ pengaturan dengan melibatkan pemodal (orang yang berkepentingan), yang memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk bisa meloloskan kebijakan tertentu.
Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yang memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan, tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk menjadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan.
Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik dan saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yang bertentangan dengan norma integritas. Kita tentu memahami bahwa pemerintah selalu bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU sering kali ada pihak tertentu yang memanfaatkan dan menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain.
Hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan (praktik suap) yang akhirnya kebijakan atau output UU tersebut merugikan kepentingan negara dan menguntungkan pihak pemodal (pemberi uang yang berkepentingan).
Novel berpendapat sikap kritis untuk kepentingan negara merupakan modal kemajuan. TWK, menurut dia, tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai/aparatur negara yang telah bekerja lama, terutama yang bertugas di bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum.
"Pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, dan hak masyarakat. Hal itu semua merugikan negara dan masyarakat," kata dia.
(ryn/ain)