Terpisah, Ahli Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa pemecatan para pegawai KPK itu telah nyata merugikan mereka. Hal itu pun tak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan terhadap UU KPK baru.
Dia beranggapan, dalam proses alih status pegawai sudah tak diwajibkan kembali untuk lulus dalam TWK, karena para pegawai KPM telah lulus dalam rekrutmen awal saat mengabdi pada KPK.
"Bahwa sekarang (pegawai) KPK harus berstatus sebagai ASN, sesungguhnya secara yuridis otomatis seluruhnya menjadi ASN. Jika kemudian pada perjalanannya ada pegawai yang tidak menenuhi syarat atau melakukan pelanggaran yang menyebabkan kebatalan statusnya sebagai ASN itu adalah proses tersendiri," ucap Abdul saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pegawai KPK harus menjadi ASN secara otomatis setelah Undang-undang baru KPK diberlakukan.
Oleh sebab itu, seharusnya pemberhentian pegawai KPK dari lembaga tersebut harus melalui proses pemberhentian ASN. Salah satu yang menjadi kendala, proses itu terganjal oleh TWK yang membuat para pegawai tak bisa menjadi ASN.
"Presiden sebagai pemimpin eksekutif harus memerintahkan Ketua KPK untuk meng-ASN-kan semua pegawai KPK, dan jika pun harus diputuskan maka harus menggunakan mekanisme pemberhentian ASN. Hak atas ASN itu sepenuhnya timbul dari konsekuensi perubahan UU KPK," jelas pengajar di Universitas Trisaksi itu.
Senada, Ahli Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari juga menyatakan bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki dasar hukum untuk menjadikan TWK sebagai alasan pemecatan. Sehingga, seharusnya rapor merah terkait wawasan kebangsaan itu tak bisa menggugurkan alih status kepegawaian.
Dia merujuk pada Undang-undang nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK hingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Di dalam UU ASN tidak ada alih status pegawai KPK menjadi ASN. Proses itu diatur dalam UU KPK dan PP 41/2020. Di dalam UU dan PP itu jelas tahapan alih status itu hanya ada lima. Di dalam tahapan itu sama sekali tidak ada TWK," ucap Feri.
Diketahui, penerapan TWK untuk alih status ASN itu sendiri diatur secara rigid lewat Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
![]() |
Polemik mengenai nasib puluhan pegawai KPK yang tak lolos TWK diketahui telah memasuki babak baru.
Pada Selasa pagi hingga jelang petang, lima pimpinan KPK bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana telah mengadakan rapat mengenai nasib puluhan pegawai yang tak lolos TWK tersebut.
Selain itu hadir pula Menkumham Yasonna H Laoly [yang keluar lebih dulu], Komisi ASN, dan dari Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Hasil rapat tersebut memutuskan, 51 dari 75 pegawai yang tak lolos TWK tak bisa lagi gabung KPK sebagai ASN. Sementara, 24 masih dapat dimungkinkan untuk mengikuti pembinaan sebelum diangkat menjadi ASN.
Dalam konferensi pers usai rapat di Gedung BKN itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan tak bisa mengungkap atau membeberkan daftar nama 51 dan 24 pegawai beda nasib tersebut.
Alexander memaparkan 51 pegawai itu diminta untuk tetap berkantor di bawah pengawasan atasan masing-masing hanya sampai 1 November.
Dalam konferensi pers itu, wartawan hanya berhadapan dengan Alexander dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana yang memberikan pernyataan dan menjawab pernyataan.
Bima mengklaim 51 pegawai KPK yang disebut tak dapat dipertahankan untuk jadi ASN itu tidak dirugikan dalam keputusan tersebut.
"Tidak merugikan pegawai, bisa saja dia mendapatkan hak-haknya sebagai pegawai ketika diberhentikan," katanya.
Bima mengatakan 51 pegawai KPK tersebut masih memiliki kontrak kerja yang dapat digunakan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pegawai.
Ia juga berdalih 51 pegawai itu juga masih bisa bekerja di KPK hingga 1 November 2021, batas waktu hingga semua pegawai lembaga antirasuah harus dialihkan menjadi ASN.
Ia menegaskan rembukan lintas kepala lembaga pemerintah di kantornya itu pun tetap sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan para pekerja tersebut. Selain itu, pihaknya pun tetap berpijak pada ketentuan perundang-undangan.
"Karena yang digunakan tidak hanya UU KPK saja. Tapi juga UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Jadi ini ada dua UU yang harus diikuti, tidak bisa hanya satu saja," tuturnya.