Kartu Mati Pelemahan KPK: Radikalisme, Taliban & Nilai Merah
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkeras melepas 51 pegawainya dengan alasan pertimbangan nilai 'merah' dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dijadikan syarat pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Padahal, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan TWK tidak bisa dijadikan satu-satunya pertimbangan memecat pegawai.
KPK berdalih tak bisa mempertahankan 51 pegawai KPK karena asesor menilai hasil TWK mereka 'merah'. Sementara 24 pegawai lainnya akan dibina melalui pendidikan wawasan kebangsaan.
"Kami sangat memahami bahwa pegawai KPK harus berkualitas karena itu KPK terus berusaha membangun sumber daya manusia tidak hanya aspek kemampuan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Kantor BKN, Selasa (25/5).
"Tetapi juga aspek kecintaan kepada tanah air, bela negara, kesetiaan kepada Pancasila, UUD, NKRI, dan pemerintah yang sah dan bebas dari radikalisme dan organisasi terlarang," tambahnya.
Pengamat politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan label radikal, tidak berwawasan kebangsaan hingga cap taliban merupakan 'kartu mati' yang digunakan untuk menyingkirkan pegawai KPK yang tak pandang bulu dalam menindak korupsi.
"Jadi isu taliban yang berkembang, ada kelompok yang dinilai radikal, tidak merah-putih, itu kan bagian dari perang propaganda. Itu dianggap kartu mati mereka," katanya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/5).
Untuk diketahui, istilah taliban mengacu pada kelompok yang memiliki ideologi agamis dan mendambakan terbentuknya negara berdasarkan syariat Islam.
Istilah ini kemudian kerap dikaitkan dengan oknum staf KPK yang dinilai memiliki ideologi agamis yang tidak pancasilais dan nasionalis.
Pangi menduga isu radikalisme dipilih oleh oknum tertentu karena dinilai bisa mempengaruhi dan menggiring opini masyarakat agar membenarkan tindakan pimpinan KPK memecat pegawainya.
Ia menjelaskan radikalisme merupakan isu yang paling mudah dipahami dan tidak asing bagi masyarakat jika berkaca pada sosial dan politik di Indonesia.
"Efektif sebagai alasan untuk mengusir orang-orang yang punya semangat memberantas korupsi. Menggiring opini untuk pembenaran bahwa apa yang dilakukan selama ini benar, dan publik bisa percaya itu," tuturnya.
Jika upaya propaganda itu dibiarkan, Pangi memperingatkan dampaknya bisa bahaya. Pasalnya pelabelan tersebut tidak hanya digunakan untuk menggiring opini, tapi juga untuk 'menghalalkan' tindakan yang dinilai membahayakan pemberantasan korupsi.
"Orang-orang yang selama ini sangat berhasil memberantas korupsi, kerjanya terukur dan nyata, kalau mereka didepak, ya sudah berhasil [upaya melemahkan KPK]. Akan dicari orang yang bisa berkompromi dengan korupsi," tambah Pangi.
Sementara pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sujoko menduga pemecatan pegawai KPK melalui TWK merupakan upaya lanjutan dari stigmatisasi taliban yang dikaitkan pada oknum tertentu di lembaga antirasuah.
"Tes wawasan kebangsaan ini sebagai upaya dalam rangka untuk melemahkan KPK. Dan itu berangkat setelah ada proses labeling [taliban] itu," kata Anang kepada CNNIndonesia.com.
Anang menilai efektivitas pelabelan tersebut untuk menggiring opini publik bergantung pada banyak faktor.
Ia menjelaskan masyarakat saat ini terbelah menjadi tiga kelompok, yakni kelompok yang mendukung revisi UU KPK dan pimpinan KPK, kelompok yang kontra, serta kelompok yang tidak punya banyak pengetahuan terhadap isu sosial dan politik.
Menurut Anang, upaya propaganda dengan isu taliban maupun radikalisme tidak akan efektif mempengaruhi kelompok yang menentang revisi UU KPK sejak awal. Mereka, sambung dia, akan terus melakukan perlawanan.
Lalu bagi kelompok yang mendukung revisi UU KPK dan kepemimpinan KPK dibawah Firli Bahuri dinilai akan semakin tergiring dengan isu tersebut.
Sementara untuk kelompok yang tidak punya banyak pengetahuan tentang isu sosial dan politik, Anang mengatakan bisa saja termakan hingga mempercayai isu taliban dan radikalisme di internal KPK.
"Saya yakin masyarakat yang peduli dan punya kemampuan untuk gerakan membela [kelompok KPK yang dituding taliban] banyak, tapi apakah mampu mengimbangi wacana yang dilontarkan pihak yang saat ini menduduki kekuasaan?" tambah Anang.
(fey/gil)