Pengamat: Nego dengan Produsen untuk Hindari Mafia Alutsista

Kementerian Pertahanan | CNN Indonesia
Minggu, 30 Mei 2021 14:03 WIB
Dalam rangka modernisasi alutsista, rencana Menhan Prabowo Subianto bernegosiasi langsung dengan pabrik produsen dinilai tepat untuk menghindari mafia.
Ilustrasi alutsista Indonesia. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memodernisasi alat utama persenjataan (alutsista) melalui upaya negosiasi langsung dengan pabrik produsen dalam rangka memperkuat pertahanan Indonesia dinilai tepat.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, langkah itu akan mempersempit ruang gerak mafia alutsista.

Menyatakan bahwa langkah tersebut layak didukung oleh semua pihak, Fahmi memberi sejumlah catatan jika pemenuhan kebutuhan alutsista menggunakan skema pinjaman luar negeri. Salah satunya, bahwa dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 yang mencapai Rp15.434,2 triliun, maka angka alokasi alutsista sebesar Rp1.760 triliun untuk 25 tahun hanya berada di kisaran 11,4 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apalagi jika angka Rp 15.434,2 triliun itu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, maka persentase jumlah yang direncanakan tersebut dari PDB akan tampak makin kecil lagi. Hanya 0,7 persen setiap tahunnya," kata Fahmi.

Jika anggaran itu disetujui Presiden Joko Widodo, maka Indonesia harus mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5 persen dari PDB per tahun. Dengan asumsi, 0,78 persen bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7 persen bersumber dari pinjaman luar negeri.

Sementara terkait skema pinjaman luar negeri, Fahmi menyebut ada hal-hal yang harus diperhatikan seperti tenor dan bunga pinjaman.

"Diplomasi pertahanan harus terus dilakukan untuk menjajaki peluang pinjaman berbunga rendah dengan tenor panjang. Setidaknya 2 persen dengan tenor minimal 12 tahun agar tidak membebani negara," jelas Fahmi.

Menurutnya, kemampuan negosiasi harus terus ditingkatkan. Pasalnya, dalam belanja impor ada skema offset transfer teknologi, kerja sama produksi, hingga fasilitas pemeliharaan dan perbaikan yang harus dipertimbangkan dan dicari sisi yang paling menguntungkan.

Selain itu, rancangan juga harus memiliki implementasi nyata. Misalnya, penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).

"Nah ini belum tergambar dari draft Perpres yang beredar," kata Fahmi.

Dia mengungkapkan, dalam UU No.16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, KKIP yang dibentuk melalui Perpres No.42 Tahun 2010 menjadi tempat bertemunya stakeholder terkait pengadaan alpal, yaitu pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus sebagai penyusun dasar hukum.

Adapun susunan keanggotaan KKIP menurut Perpres No.42/2010 seperti berikut, Ketua KKIP adalah Menteri Pertahanan, wakil ketua adalah Menteri BUMN, sekretaris adalah Wakil Menteri Pertahanan dan anggotanya adalah Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, Panglima TNI, dan Kapolri.

Fahmi menjelaskan, hal ini sebenarnya selaras dengan rancangan Perpres yang beredar, meski tak disebutkan sebagai KKIP. Dengan peraturan perundangan tersebut, dia berharap agar KKIP berperan sebagai fasilitator upaya koordinasi dalam pengadaan alat peralatan atau alpal yang selaras dengan cita-cita kemandirian melalui pembangunan industri pertahanan.

"Ini berarti keterlibatan para stakeholder sudah terbangun sejak tahap perencanaan kebutuhan dan litbang, pengadaan, penggunaan, hingga tahap purna pakai (disposal). Di samping itu, koordinasi juga penting untuk menyelaraskan kebijakan dalam pengembangan sumber daya, pembangunan industri pendukung, upaya penyehatan industri pertahanan nasional, harmonisasi regulasi, dan lain-lain," tutur Fahmi.

Selanjutnya, rancangan harus dilanjutkan dengan pengaturan keterlibatan pihak ketiga, yaitu agen perusahaan luar negeri sebagai bagian dari upaya membangun koordinasi antarstakeholder pengadaan alpal. Dengan pengaturan ini, menurut Fahmi, para agen tidak lagi menjadi pihak luar yang aktivitasnya tidak dapat diawasi dan dikendalikan.

Pengaturan itu dapat disusun dalam bentuk standar kewenangan atau standar kecakapan sebagai prasyarat untuk menjadi agen pengadaan. Selain untuk menjamin kemampuan dan kapabilitas pihak ketiga dalam memenuhi pengadaan, langkah ini sekaligus mengidentifikasi aktor-aktor yang berlaku sebagai agen atau broker pengadaan. Secara lebih makro, pengaturan dapat dilakukan melalui prosedur pengadaan dan regulasi terkait.

(rea)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER