Hasto Usul 2 Capres Saja, Pengamat Ingatkan Risiko Polarisasi

CNN Indonesia
Senin, 31 Mei 2021 10:25 WIB
Gagasan dua capres di 2024 dinilai hanya akan memicu kembali polarisasi dan penguasaan oleh segelintir elite.
Dua capres di 2019, Prabowo dan Jokowi, dinnilai memicu polarisasi yang kuat di publik. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ide dua pasang calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2024 dinilai hanya memicu kembali polarisasi alias keterbelahan dan penguasaan kursi oleh segelintir elite alias oligarki. 

Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Jumat (28/5), mengaku pihaknya ingin hanya ada dua pasangan calon di Pilpres 2024 serta tidak ada putaran kedua dengan tujuan tak menghabiskan energi agar bisa "difokuskan untuk mengatasi berbagai persoalan".

Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies Nyarwi Ahmad menyebutkan ide tersebut positif dari sudut pandang efisiensi proses penyelenggaraan pemilu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, itu negatif bagi peluang politik yang lebih terbuka alias inklusif. Pasalnya, kesempatan 'nyalon' ini hanya akan jadi milik elite parpol atau orang-orang dekatnya.

"Karena bukan tidak mungkin, panggung pilpres nantinya hanya menjadi ruang kompetisi untuk segelintir elite yang berkuasa di parpol atau kalangan tertentu yang mendapatkan dukungan kuat serta memiliki kedekatan personal dengan elite-elite kunci di parpol," tutur Nyarwi, Minggu (30/5) dikutip dari Antara.

Selain itu, lanjut Nyarwi, sebagaimana pengalaman Pilpres 2014 dan 2019 lalu, pertarungan sengit antardua pasangan capres-cawapres membuka peluang "menguatnya arus polarisasi politik, khususnya berbasis agama".

Nyarwi pun menyodorkan opsi konvensi capres di koalisi parpol, bukan di internal masing-masing parpol seperti yang pernah dilakukan oleh Partai Golkar pada 2004 dan Partai Demokrat pada 2009.

"Namun, konvensi dilakukan oleh koalisi parpol yang hendak mengusung pasangan capres," kata dia.

Konvensi yang dilakukan oleh koalisi parpol perlu dilakukan dengan mengedepankan keenam hal berikut. Pertama, konvensi dilakukan tidak ditujukan untuk menutup peluang publik, masyarakat, dan pemilih untuk mendapatkan sosok terbaik yang diinginkannya pada Pilpres 2024.

Kedua, proses seleksi dalam konvensi dilakukan berbasis indikator-indikator tertentu, seperti tingkat kecocokan antara orientasi ideologi personal kandidat dengan orientasi ideologi parpol,

Ketiga, potensi kontribusi kandidat tersebut untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan kebijakan-kebijakan publik yang menjadi prioritas parpol, dan lain sebagainya. Indikator-indikator tersebut juga perlu diketahui oleh publik secara luas.

Keempat, setiap tahapan yang dijalankan dalam konvensi tersebut juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Infografis Para Ketum Partai yang Jadi Tersangka PidanaInfografis Para Ketum Partai yang Jadi Tersangka Pidana. (Foto: CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)

Kelima, konvensi tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan dinamika pendapat publik, khususnya terkait dengan profil personal, karakter dan kapasitas pasangan capres cawapres yang berpartisipasi dalam konvensi tersebut.

Keenam, mekanisme konvensi dilakukan dengan berbasis prinsip-prinsip demokratis dan juga mengedepankan inklusivitas, sehingga memberikan peluang semua kader parpol potensial atau pun tokoh publik yang memiliki rekam jejak dan kinerja bagus untuk maju.

Ketujuh, konvensi tersebut diarahkan untuk memilih kandidat terbaik yang memiliki profil personal, karakter, integritas dan kompetensi yang bagus serta dengan pengalaman memadai dalam mengelola pemerintahan.

kedelapan, kandidat juga memiliki basis ideologis dan elektoral yang luas dan inklusif, agar dapat diterima di berbagai kalangan ketika kelak dia terpilih setelah pilpres dilakukan, kata dia pula.

Ide dua paslon di 2024 juga sebelumnya ditentang oleh Sekjen PPP Arsul Sani agar tak memicu polarisasi. Dia mengaku lebih dari dua pasangan calon presiden membuka kemungkinan dua putaran Pilpres.

"Meskipun konsekuensinya Pilpresnya bisa berlangsung dua putaran, tapi kalau di putaran kedua, kalau ada pembelahan tidak seperti 2014 2019 yang dari awal sampai pilpres berakhir, pembelahannya enggak sembuh-sembuh. Kalau pun agak menurun karena ada pandemi Covid-19," imbuh Wakil Ketua MPR itu.

Diketahui, polarisasi mulai menguat sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, terutama usai kasus penistaan agama. Sebutan kampret dan cebong pun mengemuka. Keterbelahan ini berlanjut ke Pilpres 2019 sambil tetap mengusung isu-isu agama.

(arh/antara/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER