Sementara itu, Spesialis Hubungan Masyarakat Muda di Biro Humas KPK, Tri Artini Putri ingin Jokowi mengintervensi SK 652 tersebut. Puput mengatakan SK tersebut sudah mencabut bukan hanya hak tapi juga kewajiban pegawai antirasuah.
"Jangan mengambil tadi, hak dan kewajiban (kami). Ini yang keganggu bukan hak doang, tapi hak dan kewajiban kami. Bahkan kami mau kerja untuk memberantas korupsi tidak boleh gitu?" ujarnya.
Ia berharap Jokowi lebih tegas dalam menyikapi masalah puluhan pegawai KPK yang dibuang tersebut sehingga pemberantasan korupsi bisa sama-sama dan terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita berantas korupsi bareng-bareng, sudah cukup melemahkan KPK dengan revisi undang-undang dan pimpinan yang bermasalah. Biarkan lah kami berjuang sebagai ASN untuk memberantas korupsi," katanya.
Bukan hanya pegawai KPK yang masuk daftar 75 pegawai saja yang ingin langkah nyata dari Jokowi.
Ratusan pegawai KPK yang lolos TWK pun mendesak Jokowi menunda pelantikan pegawai KPK sebagai ASN. Namun, pelantikan tetap terlaksana pada 1 Juni lalu.
Mu'adz D'Fahmi, penyidik KPK lolos ASN tidak setuju dengan penonaktifan bahkan pemecatan terhadap puluhan pegawai KPK tersebut.
Menurutnya, semua itu bertentangan dengan putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyatakan tidak boleh merugikan hak pegawai. Selain itu, pemecatan itu juga tidak sesuai dengan UU KPK 19/2019 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2020.
"Berdasarkan hal ini semua kami tidak setuju dengan arah kondisi saat ini, arah kebijakan yang diambil pimpinan saat ini, kemudian kami memutuskan bertindak sesuatu, kami menyatakan sikap untuk paling tidak menunda pelantikan tanggal 1 Juni," kata Mu'adz kepada CNNIndonesia.com.
Mu'adz berharap semua pegawai KPK tidak ada yang diberhentikan dari KPK. Menurutnya, puluhan pegawai KPK yang dinonaktifkan tersebut laik untuk dilantik sebagai abdi negara.
"Saya dari salah satu pegawai yang memenuhi syarat berharap enggak ada lagi yang tidak memenuhi syarat, semuanya memenuhi syarat dan kemudian langsung beralih menjadi ASN, tanpa merugikan hak pegawai, tanpa terkecuali," ujarnya.
Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan pimpinan KPK mengambil kebijakan lain dari arahan Presiden Joko Widodo mengenai nasib 51 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Menurut Moeldoko, pemerintah sudah ikut serta dalam rapat dan menyampaikan arahan Presiden Jokowi. Akan tetapi, KPK tetap memiliki kewenangan tersendiri untuk memutuskan nasib pegawainya.
"Bahwa Pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan lain tersendiri, hal tersebut merupakan kewenangan dan keputusan lembaga pengguna dalam hal ini KPK," ungkap Moeldoko dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/5) lalu.
Sementara Firli membantah TWK dan alih status ASN untuk menyingkirkan 75 orang pegawai KPK.
"Enggak ada upaya menyingkirkan siapapun. Karena tes yang dilakukan, TWK diikuti dengan instrumen sama, waktu pekerjaan sama, pertanyaan sama dan modul sama," kata Firli, Selasa (1/6).
(yla/fra)