Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut korupsi saat ini lebih gila daripada korupsi yang terjadi saat Soeharto berkuasa.
Hal tersebut tak berkaitan dengan jumlah atau besaran dana yang dikorupsi, melainkan semakin meluasnya orang-orang yang melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Mahfud, saat ini atau di era reformasi, setiap orang hingga elite bisa melakukan korupsi. Sementara saat Orde Baru, korupsi hanya dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004-2020, aktor tindak pidana korupsi mengalami perluasan selepas Orde Baru dan Soeharto tumbang.
Pada 2004, misalnya, KPK mengungkap korupsi yang melibatkan gubernur, pejabat eselon I/II/III, hingga pihak swasta. Setahun kemudian, menteri, kepala lembaga, komisioner, hingga pengacara ikut terjerat.
Berdasarkan data KPK, para aktor yang terlibat korupsi antara lain anggota DPR/DPRD sebanyak 274 orang, kepala lembaga/menteri, 28 orang, gubernur 21 orang, wali kota/bupati/wakil 122 orang.
Kemudian hakim 22 orang, jaksa 10 orang, polisi 2 orang, pengacara 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner 7 orang, eselon I/II/III 230 orang, swasta 308 orang, korporasi 6 orang, dan lainnya 157 orang.
Selain aktor yang meluas, korupsi selepas Orde Baru juga beragam. Seperti pengadaan barang jasa 236 kasus, perizinan 23 kasus, penyuapan 739 kasus, pungutan/pemerasan 26 kasus, penyalahgunaan anggaran 50 kasus, TPPU 38 kasus, hingga merintangi proses penyidikan 10 kasus.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan meluasnya aktor yang melakukan korupsi dan sumber korupsi di Indonesia tak lepas dari sistem pemerintahan yang berganti dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
Pada era Orde Baru, kata Adnan, kekuasaan terpusat sehingga karakteristik korupsi yang seringkali dilakukan adalah membuat peraturan atau kebijakan negara yang tujuannya menguntungkan penguasa ataupun orang terdekatnya.
"Dulu Soeharto buat yayasan, ya itu lewat Keppres, padahal yayasan itu tidak jelas eksistensi, apakah itu milik negara, apa milik swasta, pada waktu itu ya dianggap milik Soeharto. Padahal yayasan itu nanti mengelola anggaran dari APBN, BUMN," kata Adnan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/6).
Adnan menyebut sepanjang Orde Baru juga lazim pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan yang ditukar dengan pemberian saham gratis bagi kroni-kroni penguasa.
"Atau monopoli terhadap anggaran atau sektor pengadaan, karena dulu juga ada tim 4, yang itu benar-benar powerfull, karena pengadaan barang dan jasa disentralisasi di tim 4 ini. Di sini juga terjadi monopoli terhadap penggunaan anggaran negara," ujarnya.