Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibagikan kepada peserta sosialisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sama dengan draf yang diprotes masyarakat pada 2019.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengungkapkan, draf materi rancangan tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan. Sebanyak 24 poin yang disoroti Aliansi sejak dua tahun lalu belum diperbaiki.
"Kondisi ini kontras dengan pernyataan Presiden 20 September 2019 lalu, bahwa RKUHP ditunda pengesahannya untuk pendalaman materi," sebagaimana dikutip dari keterangan resmi aliansi tersebut, Selasa (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain presiden, Direktorat Jenderal Perundang-undangan (Ditjen PP) pada pertengahan 2020 menyatakan bahwa pemerintah sedang gencar membahas RKUHP di tengah situasi pandemi Covid-19.
Aliansi yang terdiri dari hampir 50 organisasi pemerhati hukum, lingkungan, dan bidang lainnya ini lantas mempertanyakan apa yang dibahas pemerintah. Di sisi lain, sejak September 2019 pemerintah juga belum pernah melaporkan pembahasan rancangan undang-undang kontroversial itu kepada publik.
"Jika tidak ada sedikitpun perubahan, lantas apa yang dibahas oleh pemerintah?" ujar aliansi tersebut.
Mereka juga menyoroti akses RKUHP yang dinilai sangat eksklusif. Sementara Kemenkumham melakukan sosialisasi di 11 kota sejak Februari hingga Juni 2021.
Kota-kota tersebut antara lain, Medan pada 23 Februari, Semarang pada 4 Maret, Bali pada 12 Maret, dan Yogyakarta pada 18 Maret.
Selain itu Ambon pada 26 Maret, Makassar pada 7 April, Padang pada 12 April, Banjarmasin pada 20 April, Surabaya pada 3 Mei, Lombok pada 27 Mei, dan Manado pada 3 Juni.
![]() |
Dari 11 sosialisasi itu, pemerintah hanya menyebarkan 5 materi yang sama. Materi ini dibawa Tim Perumus di setiap kota. Namun, akses terhadap draf RKUHP baru diberikan pada saat sosialisasi di Manado.
"Akses dokumen RKUHP tersebut sangat eksklusif," ungkap aliansi tersebut.
Mereka memprotes akses dokumen hanya diberikan kepada peserta sosialisasi yang hadir secara langsung di Manado dan melalui aplikasi Zoom.
Padahal, seharusnya draf tersebut bisa diakses secara bebas oleh masyarakat baik secara offline maupun online. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Mereka juga mencatat bahwa selama sosialisasi RKUHP, pemerintah tidak melibatkan kelompok yang mengkritisi rancangan undang-undang tersebut.
Mereka juga mengkritik tindakan pemerintah yang tidak melibatkan kelompok rentan dan masyarakat adat. Inventarisasi hasil masukan masyarakat juga tidak pernah dilaporkan berikut tindak lanjutnya.
"Sosialisasi ini lebih seperti hanya searah, bukan untuk menjaring dan menindaklanjuti masukan masyarakat," ujar aliansi tersebut.
Aliansi ini kemudian mendesak agar pemerintah secara transparan membuka pembahasan RKUHP.
Mereka juga meminta agar para ahli yang bersikap kritis terhadap rancangan itu dilibatkan dalam pembahasan perbaikan RKUHP, materi yang dibahas pemerintah selama ini, serta alasan mengenai tidak adanya perubahan dalam rancangan tersebut.
"Hal ini perlu dilakukan sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis," jelas aliansi ini.
(iam/pmg)