Jakarta, CNN Indonesia --
Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapatkan sorotan kembali lantaran mengandung pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di dalamnya.
Pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tertuang di Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal tersebut, sebagaimana tertuang dalam draf RKUHP yang diperoleh CNNIndonesia.com, Jumat (4/6).
Kemudian, penyerangan kehormatan pada harkat dan martabat presiden serta wakil presiden yang tidak melalui media sosial bisa dijerat dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun atau denda Rp200 juta. Hal itu tertuang di Pasal 218 ayat 1.
Di Pasal 218 ayat 2 kemudian dinyatakan bahwa tindakan tidak dikategorikan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.
Sementara itu, ketentuan terkait penghinaan terhadap lembaga negara seperti DPR diatur dalam sejumlah pasal dI Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara diatur sejumlah ketentuan. Salah satunya di Pasal 353.
"Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,"demikian bunyi pasal itu sebagaimana tertuang dalam draf RKUHP yang diperoleh CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kategori II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ialah denda maksimal Rp10 juta.
Selanjutnya, penghina lembaga negara lewat media sosial juga bisa dijerat pidana. Bahkan, ancamannya lebih tinggi, yaitu dua tahun penjara. Hal itu tertuang dalam Pasal 354.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III,"bunyi pasal tersebut.
RKUHP juga mengatur hukuman penjara selama tiga tahun dan pidana denda paling banyak kategori III setara Rp50 juta menanti seseorang apabila menghina DPR hingga mengakibatkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Artinya, hukuman ini lebih berat ketimbang hukuman-hukuman sebelumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 353 ayat 2 RKUHP.
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III,"bunyi pasal 353 Ayat 2 RKUHP.
Berlanjut ke halaman berikutnya ....
Pengamat hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta lembaga negara harus dihapuskan.
Pasalnya, menurutnya, Mahkamah Konstitusional (MK) telah memutuskan bahwa pasal penghinaan presiden di KUHP inkonstitusional.
"Secara konstitusional penghinaan presiden itu sudah dianggap inkonstitusional, jadi harus dihapuskan," kata Feri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/6).
Dia berkata upaya menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden di KUHP sama saja menentang konstitusi. Menurutnya, mengabaikan putusan MK dengan pertimbangan lebih politis daripada konstitusional merupakan hal yang tidak sehat dalam proses penyusunan sebuah regulasi.
Lebih lanjut, Feri menuturkan bahwa pasal penghinaan presiden dan lembaga negara merupakan pasal yang dahulu dibuat sebagai upaya perlindungan kerajaan Belanda.
Ia pun menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden dan lembaga negara membawa semangat kolonialisme dan membuka ruang serta menghidupkan jarak antara rakyat dan pemerintah. Bahkan, menurutnya, keberadaan pasal itu akan membuat relasi pemerintah dan rakyat seolah seperti penjajah dan yang dijajah.
"Dalam sistem presidensial, presiden boleh dikritik secara terbuka, berbeda dengan konsep kerajaan di mana pemerintahannya dianggap wakil Tuhan di muka bumi," katanya.
"Jadi tidak boleh dalam draf UU bertentangan konstitusi harus patuhi putusan MK," imbuh Feri.
Ia pun meminta para perumus RKUHP memahami sistem presidensial bahwa kritik dan hinaan boleh dilakukan secara terbuka. Menurutnya, Indonesia harus meniru sikap Amerika Serikat (AS) dalam merespons kritik atau hinaan.
"Di negara yang menganut presidensial terbuka saja kritik, hinaan, dan segala macam bahkan Presiden AS pernah dibilang idiot oleh publik, biasa saja," ucapnya.
Feri berkata, presiden dan DPR sebagai orang yang dipilih publik secara langsung harus lebih mendengar suara masyarakat yang pada titik tertentu melayangkan kritik secara emosional.
Menurutnya, presiden dan DPR justru menampilkan sikap aneh bila merespons emosi publik dengan ancaman pidana.
Senada, pengamat hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan pasal penghinaan presiden dan lembaga negara di RKUHP harus dihapus.
Menurutnya, setiap pendapat di sebuah negara demokrasi harus dianggap sebagai sebuah kritik, bukan penghinaan.
"Kita harus lihat bahwa kita negara demokrasi. Dalam demokrasi, ketika sebagai rakyat melakukan pendapat harus dianggap sebagai kritik, bukan penghinaan karena bagaimana pun juga presiden dan lembaga presiden pelayan rakyat," kata Hibnu.
Dia menyatakan, kata penghinaan tidak tepat untuk digunakan. Ia pun meminta agar pasal itu dihilangkan sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
"Saya kira terlalu jauh kalau dikatakan penghinaan tidak apple to apple. Lebih baik dihilangkan, toh itu sudah diputuskan MK dalam KUHP itu sudah dihapuskan, nah ini muncul lagi," katanya.
Lebih lanjut, ia menuturkan, draf KUHP saat ini sebenarnya sudah ada perbaikan dengan mengubah pasal penghinaan dari delik umum menjadi delik aduan.
Namun, menurutnya, hal itu tidak cukup karena implementasi penerapannya akan sulit dilakukan. Sehingga, ia menilai, pasal terkait penghinaan sebaiknya dihapuskan.
"Dulu semua orang, tim sukses pun bisa melaporkan, sekarang enggak harus yang bersangkutan. Tapi harus dilihat ini pribadi atau personifikasi lembaga. Kalau personifikasi lembaga, saya kira itu kritik. Tapi kalau pribadi, baru delik aduan," kata Hibnu.
"Ini yang sulit pada implementasinya untuk membedakan presiden sebagai pribadi atau lembaga. Lebih baik dihilangkan," imbuh dia.