Pemberian-pemberian gelar kehormatan atau doktor honoris causa oleh kampus ke sejumlah tokoh kerap mengundang komentar miring soal 'fenomena obral gelar akademis'.
Tudingan miring itu tak lepas dari mereka yang dianugerahi gelar itu merupakan bagian dari elite politik atau penguasa.
Setahun terakhir misalnya, ada nama Ketua DPR Puan Maharani yang diberikan gelar doktor kehormatan oleh Universitas Diponegoro (Undip), lalu ada Wakil Ketua Umum Golkar yang pernah menjadi Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang diberikan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada juga nama menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar yang menerima dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Selain doktor kehormatan, terbaru, ada juga nama Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, yang bakal dianugerahi Profesor kehormatan dengan status Guru Besar Tidak Tetap oleh Universitas Pertahanan RI (Unhan) pada 11 Juni ini.
Menanggapi fenomena-fenomena tersebut, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro mengakui pemberian gelar kehormatan oleh kampus-kampus kepada tokoh cukup banyak terjadi dalam beberapa 10 tahun terakhir.
Menurutnya, fenomena itu pun jamak ditemukan dari pemberitaan media massa dalam beberapa tahun terakhir.
"Memang dulu jaranglah. Akhir-akhir ini cukup sering dibandingkan dengan yang dulu. Kita mengamati yang ada di pemberitaan, memang agak sering sekarang itu dibandingkan dulu-dulu," kata Satryo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (9/6).
Dia yang juga pernah menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi di Kemendikbud pada 1999-2007 ini mengatakan setiap perguruan tinggi memiliki syarat atau indikator yang harus dipenuhi seorang tokoh dalam proses pemberian gelar kehormatan.
Syarat atau indikator ini, kata dia, berbeda antara satu kampus dengan kampus lainnya.
"Ada kaidah yang normatif dari pemberian sebuah penghargaan atau gelar, ada indikator atau syarat yang harus dipenuhi. Kalau Perguruan tinggi sudah beri gelar, mestinya sudah memenuhi kaidah yang dia pegang," ucap dia.
Menurut Satryo jika dalam pemberian gelar kehormatan, suatu kampus mengikuti kaidah dan menjalankan proses dengan baik, maka hal itu akan memberikan dampak positif. Baik bagi kampus, maupun bagi tokoh yang diberikan gelar.
Namun sebaliknya, jika pemberian gelar itu berdampak negatif, kata dia, berarti ada yang salah dalam proses pemberian gelarnya.
"Jadi sebetulnya dipertaruhkan. Perguruan tinggi, maupun individu itu penerima, dipertaruhkan itu, reputasinya. Kalau memang semua baik, prosesnya betul, tentu memberikan peningkatan, respek, kepada institusi maupun individu. Kalau sebaliknya ya enggak terjadi," ujar dia.
Sementara itu, secara terpisah sebelumnya, Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto menilai sejumlah kampus di Indonesia tidak memiliki standar yang tinggi dalam memberikan gelar kehormatan kepada seseorang.
Hal itu, kata dia, berakibat timbulnya kesan siapapun yang memiliki pengaruh, jabatan, akan diberikan dengan mudah oleh kampus.
"Di Indonesia itu terlihat kampus tidak punya standar, dalam pelaksanaan pemberian gelar. Ini juga preseden buruk, bahwa begitu mudahnya," kata Ari
Ia mengatakan, sebenarnya tidak ada standar yang pakem dalam pemberian gelar maupun jabatan akademik.
Di sejumlah peraturan, kata dia, syarat yang tercantum terkait memiliki jasa, keahlian atau prestasi luar biasa, bisa diartikan secara subjektif.
Oleh karena itu, ia menyebut bahwa penilaian terakhir kembali lagi kepada masyarakat.
"Masyarakat harusnya menilai mana universitas yang kukuh dengan standar tinggi dan mana universitas yang asal-asalan. Ada lagi standar etika, itu banyak dilanggar. Umpamanya, seseorang terlibat kasus pidana, kok bisa dapat," kata Ari.