Pemerintah kembali menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang kesembilan kalinya. Peraturan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2021 dan berlaku pada 15-28 Juni.
Indonesia mengalami lonjakan kasus. Lima minggu pascamudik Idulfitri atau per 15 Juni 2021, akumulasi kasus bertambah menjadi 1.927.708. Kapasitas tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) makin tipis. Kemenkes mencatat 17 kabupaten/kota dengan BOR isolasi dan perawatan intensif yang memasuki zona merah.
Situasi dinilai mengkhawatirkan. Apalagi ditemukan mutasi virus SARS-CoV-2 yang tergolong 'Variant of Concern (VoC)' di Indonesia. Salah satu mutasi Covid-19 yang dimaksud yakni varian B1617 dari India atau Delta. Varian tersebut dianggap lebih cepat dan ganas penularannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menilai PPKM mikro memang tidak efektif. Terbukti dengan lonjakan kasus yang terus terjadi meski PPKM berkali-kali diterapkan. Windhu menjelaskan PPKM mempunyai dua aspek. Pertama, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Kedua, aspek zonasi di tingkat mikro. Ia menyebut aspek yang kedua lah yang membuat PPKM tidak efektif diterapkan.
Ia menilai zonasi mikro bisa diterapkan jika testing dan tracing tinggi seperti di Hong Kong. Namun, jika testing dan tracing rendah maka harus dilakukan zonasi makro.
"Kalau ada suatu daerah di dalam satu kabupaten itu ternyata dia terjadi ledakan kasus, seharusnya di semua kabupaten itu harus dinyatakan daerah berisiko," jelas Windhu kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
Windhu menyebut karantina wilayah merupakan langkah tepat yang harus diambil. Hanya saja, kata dia, pemerintah Indonesia tidak akan berani mengambil keputusan tersebut.
"Kita tidak usah ngomong lockdown karena sebagian besar pejabat alergi kata lockdown. tapi kita pakai UU kekarantinaan kesehatan," ucap Windhu.
"Kalau kita enggak mampu karantina wilayah, karena ada konsekuensi pemerintah harus memberikan bansos bagi mereka yang tidak bisa keluar mencari nafkah. Harus keluar duit pemerintah. Karena pemerintah enggak punya duit, maka PSBB yang dipilih," imbuhnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra sepakat PSBB adalah pilihan logis ketika pemerintah tidak berani melakukan karantina wilayah.
Hermawan juga menyebut PSBB se-Pulau Jawa harus dilakukan. Bahkan, ia menilai PSBB nasional perlu diterapkan. Hal itu harus dilakukan karena situasi pandemi di Indonesia makin genting.
"Pemerintah tidak boleh lagi menganggap remeh karena melihat kasus yang ada sebenarnya terjadi di seluruh Indonesia," ucap Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
"Kalau ditanya apa kebijakan yang paling efektif untuk memutus mata rantai covid? yaitu PSBB nasional. Kalau PPKM itu ibarat kata menekan sementara kemudian muncul lagi," imbuhnya.
Hermawan menjelaskan PSBB nasional itu harus dilakukan pada periode tertentu, misalnya 3 minggu sampai 1 bulan. Intervensi pemerintah pusat juga harus dilakukan.
Ia menyebut banyak daerah dengan lonjakan kasus tinggi namun tidak berani memberlakukan PSBB. Jika pemerintah daerah tak berani, maka pemerintah punya wewenang untuk memutuskan PSBB bahkan dalam skala nasional.
"Seharusnya dikembalikan PSBB dan harus berani," tegas Windhu.
"Kalau tidak, ya akhirnya terkatung-katung semuanya. Ekonomi tidak kunjung pulih sempurna, kesehatan juga tidak membaik dengan sendirinya," tandasnya.
(yla/ain)