Tarmizi ingat betul momen pertama kalinya penduduk desa mendengar istilah perdagangan karbon. Desa atau dusun Senamat Ulu, di Batin Tiga Ulu Kabupaten Bungo, Jambi bakal didatangi orang-orang dari Eropa yang akan mengangkut karbon-karbon itu dari hutan mereka.
Demikian di benak penduduk waktu itu, di masa awal LSM Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menyosialisasikan potensi perdagangan karbon sekitar lima tahun lalu. Jangankan masyarakat, pemerintah daerah pun mulanya juga bingung tidak paham.
"Pemda malah menawarkan bantuan truk. Kalau dana karbon itu memang besar kita siapkan truk. Kita angkut itu karbon. Nyatanya karbon itu bukan itu," kenang Tarmizi, Datuk Rio Senamat Ulu, sembari terkekeh beberapa waktu lalu. Datuk Rio adalah sebutan kepala desa atau dusun bagi marga Batin di Jambi.
Baca juga:Sapi Menyumbang Pemanasan Global |
Belakangan Tarmizi dan warga dusun mengerti, perdagangan karbon ialah imbal jasa lingkungan. Kompensasi dari negara maju serta perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dioksida melebihi ambang batas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kompensasi itu dibayarkan kepada mereka, juga komunitas yang menjaga hutannya. Karbon diserap pohon di hutan, untuk menghambat laju perubahan iklim.
Namun imbal jasa lingkungan itu tak selalu datang dari perusahaan atau negara industri penghasil emisi. Pembeli karbon juga bisa orang pribadi karena motivasi kesadaran lingkungannya. Di Eropa kesadaran itu lalu menjadi gaya hidup. Membeli karbon untuk memperingati hari lahir atau sebagai kado pernikahan.
Kini sudah lima dusun di Kecamatan Batin Tiga Ulu Kabupaten Bungo, Jambi berhasil menembus pasar perdagangan karbon internasional. Lima dusun itu, yakni Lubuk Beringin, Sangi Letung, Senamat Ulu, Laman Panjang, dan Sungai Telang.
Dusun-dusun ini terbentang di dalam kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur atau Bujang Raba.
Berawal dari perjuangan mereka memperoleh hak kelola perhutanan sosial melalui skema hutan desa dari kementerian kehutanan. Dusun Lubuk Beringin yang pertama, pada 2009. Kemudian berturut-turut empat dusun lain, sampai mencapai luas total 7.291 hektare, 5.330 di antaranya adalah zona lindung.
Berdasarkan verifikasi lembaga sertifikasi karbon, Plan Vivo, lima hutan desa ini mampu menyerap 37 ribu ton karbon dalam satu tahun. Tutupan hutan masih utuh dan kaya vegetasi. Padahal sebelum dikelola sebagai hutan desa, Kawasan Bujang Raba merupakan hutan lindung yang level deforestasinya sangat mengkhawatirkan.