Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo menilai pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia saat ini memasuki fase mengerikan setelah positivity rate atau rasio kasus positif Covid-19 melalui pemeriksaan swab test PCR tembus 51,62 persen pada Selasa (22/6).
Windhu menyebut 51,62 persen merupakan positivity rate tertinggi selama pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia. Dari temuan itu, dapat disederhanakan bahwa satu dari dua orang yang diperiksa Covid-19 menggunakan metode PCR dinyatakan positif Covid-19.
"Satu kata untuk Indonesia saat ini itu mengerikan. Jadi kan positivity rate itu menunjukkan risiko pandemi, jadi risiko kita membesar saat ini," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (23/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Windhu menjelaskan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam hal ini mengategorikan positivity rate dalam empat tingkatan. Pertama, kurang dari dua persen maka disebut insiden rendah atau low incidence. Kemudian 2-4,99 persen dikatakan fase sedang atau moderate; 5-19,9 persen disebut insiden tinggi atau high incidence; dan lebih dari 20 persen dikatakan selanjutnya sebagai insiden sangat tinggi atau very high incidence.
Sementara, Indonesia sudah terlalu sering masuk kategori very high incidence. Ia juga menegaskan bahwa positivity rate sejatinya hanya dihitung dengan parameter pembagi pemeriksaan menggunakan PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM). Sementara rapid test antigen tidak bisa dijadikan tolok ukur positivity rate.
Rapid antigen menurutnya masih memiliki false negative alias tingkat akurasinya tak setinggi PCR, sehingga antigen hanya cocok digunakan sebagai alat skrining guna mendukung kegiatan tracing yang masif dan agresif.
"Rapid antigen boleh kita gunakan, boleh datanya dipaparkan. Tapi tidak boleh dijadikan patokan yang menunjukkan tingkat risiko di masyarakat," kata dia.
Windhu pun menyoroti jumlah pemeriksaan PCR di Indonesia yang saat ini relatif merosot. Per 22 Juni misalnya PCR hanya 24.987, TCM 505, dan rapid test antigen 45.250.
Padahal WHO telah menetapkan standar pemeriksaan 1:1.000 penduduk per pekan. Dengan asumsi populasi Indonesia mencapai 270 juta jiwa, maka sewajarnya 270 ribu orang diperiksa per pekan atau 38 orang yang diperiksa PCR dan TCM tiap harinya.
Sementara itu, kata Windhu, pemerintah telah mengklaim jumlah pemeriksaan yang dilakukan telah melampaui standar WHO. Itu berarti hitungan pemerintah adalah jumlah tes baik PCR, TCM, dan rapid test antigen secara keseluruhan.
"Karena pemerintah selalu seolah mengecilkan kasus, mengecilkan risiko. Pemerintah aneh, selalu ingin membuat masyarakat terlena, 'kita bisa mengendalikan Covid-19, PPKM Mikro efektif kok', padahal sudah jelas-jelas kita tidak pernah berhasil mengendalikan pandemi," kata Windhu.
Windhu pun meyakini kasus Covid-19 lebih banyak dari data yang ada. Beberapa epidemiolog menurutnya telah memprediksi Covid-19 di Indonesia yang asli 8-20 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.
Untuk itu, Windhu meminta agar pemerintah serius dalam melakukan strategi tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) secara masif dan agresif. Menurutnya, hanya strategi di hulu itu yang mampu mengendalikan pandemi.
(khr/pmg)