Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyatakan bahwa pemilihan kebijakan PPKM berbasis mikro menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan data penularan Covid-19.
Menurutnya, pemerintah terlihat tidak menggunakan sains dan data sebagai dasar pengambilan kebijakan penanganan Covid-19.
"[Pemerintah] tidak menggunakan sains dan data sebagai dasar kebijakan, tapi yang populis. Padahal penanganan pandemi ini bukan soal demokrasi, mana yang terbanyak menang," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Windhu menyampaikan pemerintah seharusnya melihat positivity rate atau rasio kasus positif terhadap orang dites yang selalu tinggi dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan, menurutnya, positivity rate penularan Covid-19 di Indonesia selalu berada di atas 20 persen.
Oleh karena itu, kebijakan PPKM berbasis mikro yang diambil pemerintah dinilai merupakan kebijakan yang salah karena semata bersifat populis. Windhu pun mempertanyakan keberhasilan penerapan PPKM berbasis mikro terhadap jumlah kasus penularan Covid-19 di Indonesia selama ini.
"Kebijakannya populis yang salah. Kita sudah berapa kali PPKM mikro? Hasilnya apa? Peningkatan kasus yang luar biasa," katanya.
Windhu menyatakan pemerintah seharusnya melakukan evaluasi secara rinci ihwal dampak setiap kebijakan yang diambil dalam penanganan Covid-19.
Menurutnya, pemerintah juga harus belajar dari India yang berhasil menekan lonjakan kasus Covid-19 secara cepat.
Ia menyampaikan kebijakan lockdown memang merupakan hal yang menyakitkan dan pemerintah akan dibebani tanggung jawab untuk membiayai kehidupan masyarakat.
Namun, Windhu mengingatkan, rasa sakit tersebut tidak akan berlangsung terlalu lama dibandingkan pemerintah selalu mengambil kebijakan yang populis tapi tidak efektif dalam memutus rantai penularan Covid-19.
"Kita harus belajar dari negara lain, India yang sempat terjadi kasus luar biasa, mereka langsung lockdown negara bagian, dalam tempo sebulan kasus langsung turun 1/8 saat ini.
"Memang sakit, lockdown pemerintah harus kasih makan rakyat, sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan. Tapi sebentar, sebulan dua bulan. Jangan seperti sekarang sudah tidak efektif tapi dilanjutkan terus," ujar Windhu.
(mts/pris)