Warga Kelurahan Sukamelang, Subang, Jawa Barat, Rudiansyah (37) tak berhenti mengungkapkan kemarahan dan kekesalan atas peristiwa yang menimpa sang kakak. Ia marah sebab nasib yang menimpa kakaknya menurut dia bukan hal wajar.
Kakak Rudi meninggal dunia usai positif Covid-19, namun beberapa rumah sakit tidak mau memakamkan lantaran tak pernah merawatnya.
"Saya ingin menyalahkan siapa enggak tahu," kata dia masih dengan suara terbata-bata lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman Rudi terjadi pada Selasa (29/6) lalu, saat nyawa kakaknya tak bisa diselamatkan usai dua hari dirawat di sebuah klinik di Kabupaten Subang, karena positif Covid-19. Rudi yang mengetahui kakaknya positif, semula berniat agar proses pemakaman jenazah dilakukan sesuai protokol.
Walhasil, ia melarikan jenazah sang kakak ke rumah sakit di daerah Kabupaten Subang, karena klinik tak memiliki tenaga yang mengurus pemakaman. Namun, pihak rumah sakit menolak permintaan keluarga, sebab jenazah bukan pasien yang sebelumnya dirawat di rumah sakit.
Rudi masih tak terima. Ia menganggap wajar jika rumah sakit menolak merawat pasien karena kapasitas penuh. Namun, alasan rumah sakit menolak pemakaman jenazah Covid-19 karena bukan pasien menurut dia tidak masuk akal.
"Itu yang membuat sebenarnya saya marah. Oke kalau misal RS tidak menerima pasien, Covid karena penuh. Tapi hanya sekadar memandikan walaupun bukan pasien masa nggak boleh. Ini udah mati orang," kata dia.
Nasib sang kakak yang ditolak beberapa rumah sakit bukan kali pertama. Sebab sebelumnya, kakak Rudi juga ditolak saat hendak mencari kamar rawat usai dinyatakan positif Covid-19.
Selain kakak Rudi, belakangan istri kakaknya juga diketahui positif. Beruntung, dua anaknya yang masih di bawah 18 tahun negatif. Namun, istri kakak Rudi pasien tanpa gejala (OTG).
Saat terpaksa dirawat di klinik, kakak Rudi sempat dilarikan ke lebih dari tiga rumah sakit di Subang hingga Purwakarta, Jawa Barat agar mendapat perawatan lebih intensif. Namun, tak ada rumah sakit yang menerima karena alasan penuh. Dua hari dirawat di klinik, kakak Rudi menghembuskan napas terakhir.
"Nah yang bikin saya kesal adalah ini lama sekali, kakak saya meninggal jam 8 (pagi), baru dimandikan jam setengah 6 sore. Karena saking kondisi, tidak bisa diterima di manapun," imbuh Rudi.
Kakak Rudi akhirnya mendapat pemulasaraan sesuai protokol setelah dibantu oleh tim satgas kelurahan. Namun, ia tetap tak habis pikir pihak rumah sakit yang menolak jenazah kakaknya karena bukan pasien.
Mengenai hal itu, anggota Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Subang, Maxi mengatakan bahwa jenazah sebenarnya sudah diterima di RSUD Ciereng. Akan tetapi, rumah sakit itu meminta uang Rp1,5 juta.
Saat di tempat pemakaman yang tak jauh dari rumah sakit, keluarga pasien kembali dimintai uang oleh petugas yang ingin menguburkan.
"Di sana (RSUD) sebenarnya diterima oleh petugas, kemudian katanya minta bayaran Rp1,5 juta ke pasien. Kemudian pada saat di pemulasaraan dibawa ke pemakaman yang tak jauh dari rumah sakit di pemakaman Dunguswiru. Di sana, ternyata dimintain uang Rp6,5 juta oleh petugas di pemakaman," kata Maxi saat dihubungi.
"Isu yang beredar dokter (di klinik) yang meminta uang Rp6,5 juta. Makanya sekalian saya klarifikasi ternyata jawaban dokter Dede (pemilik klinik), dia sendiri yang membayar biaya pemulasaraan di rumah sakit Rp1,5 juta dan keluarga dimintai oleh petugas di area pekuburan," papar Maxi.
Maxi menjelaskan bahwa seharusnya klinik juga tidak boleh merawat pasien virus corona.
"Terkait kasus itu, saya sudah panggil Dokter Dede Firdaus pemilik klinik itu," katanya.
Mulanya, pasien mengalami sesak napas saat dibawa ke klinik. Saat diperiksa tes antigen, positif virus corona. Klinik yang bersangkutan lalu merujuk pasien ke rumah sakit.
Akan tetapi, tiap rumah sakit yang dikunjungi pasien selalu penuh, sehingga tidak bisa menerimanya. Hingga kemudian, pihak keluarga pasien memutuskan untuk kembali membawanya ke klinik karena di rumah tidak ada peralatan kesehatan.
"Akhirnya keluarga bilang, daripada di rumah saja mereka tidak punya fasilitas oksigen, lebih baik ke klinik semula. Akhirnya pasien itu kembali ke klinik itu dengan status ditolak semua rumah sakit karena penuh. Adapun pasien meninggal di klinik itu karena memang kondisinya buruk," tutur Maxi.
(thr/bmw)