Salah satu bukti sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajahan Hindia Belanda adalah Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun, yakni 1825 hingga 1830.
Cikal bakal meletusnya peristiwa sejarah Perang Diponegoro adalah kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada 1808.
Diponegoro lahir pada 11 November 1785 dari pasangan R.A. Mangarawati dan Gusti Raden Mas Suraja yang di kemudian hari naik takhta dan bergelar Hamengkubuwana II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai Pangeran Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro sewaktu lahir bernama Bendara Raden Mas Mustahar. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.
Lalu berubah kembali seiring dengan ayahnya yang naik takhta menjadi raja. Setelah sang ayah menjadi raja, maka nama Bendara Raden Mas Mustahar juga turut berubah menjadi Pangeran Harya Dipanegara.
![]() |
Pertikaian dan perseteruan Kerajaan Jawa dengan Belanda dimulai saat kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di tanah Jawa tepatnya di Batavia pada 5 Januari 1808.
Sebagai utusan yang dikirim Perancis, Belanda ditugaskan mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris.
Namun cara Daendels memerintah dianggap tidak berbudaya dan melanggar tata krama yang menimbulkan kemarahan dari keraton. Daendels sering meminta akses pengelolaan sumber daya alam dan perbudakan rakyat Jawa dengan tekanan kekuatan militer.
Daendels bahkan memaksa para penduduk Jawa membangun jalur transportasi dari Anyer hingga Panarukan.
Terlebih setelah kematian Sri Sultan Hamengkubuwana I menjadi peluang bagi kolonial Hindia Belanda memperkuat pengaruhanya di tanah Jawa khususnya di kalangan Kerajaan Jawa.
Pangeran Diponegoro awalnya tidak berniat campur tangan dalam urusan keraton. Dirinya lebih memilih hidup terpisah karena posisi ibunya yang bukan seorang permaisuri. Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada masalah keagamaan dan hidup sebagai rakyat biasa.
Pangeran Diponegoro baru menaruh perhatian kepada keraton saat Belanda mulai banyak mencampuri urusan internal keraton, masalah pungutan pajak yang tinggi kepada para petani.
Kemudian, puncak kemarahan sang pangeran terjadi saat makam leluhurnya akan dibongkar untuk dijadikan jalan.
Rencana pembangunan jalur transportasi yang melewati makam leluhur dan kediaman neneknya membuat Pangeran Diponegoro murka dan memutuskan perang dengan Belanda.
Pasak-pasak penanda yang telah dipasang para pekerja, dicabutnya dan digantikan dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Perang terbesar di Pulau Jawa ini dimulai pada 20 Juli 1825. Guna menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro mengungsikan keluarganya dan bergerak secara gerilya.
Terbukti, Belanda gagal menangkap Pangeran Diponegoro di Tegalrejo meski akhirnya kediamannya dibakar.
Pangeran Diponegoro dan pasukannya bergerak ke arah selatan dan membangun basis militer di Goa Selarong yang terletak lima kilometer dari arah Kota Bantul.
Peristiwa sejarah Perang Diponegoro itu berhasil meraih simpati rakyat. Selama masa peperangan, rakyat turut berjuang bersama melawan Belanda.
Aksi heroik Pangeran Diponegoro juga mendapat simpati dari kalangan bangsawan lainnya dan pejuang lainnya seperti Kyai Mojo, Sentot Prawirodirdjo, dan Kerta Pengalasan.
Strategi gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro berhasil mengecoh Belanda dan membuatnya licin sulit tertangkap.
Pada 1827 Belanda melancarkan penyerangan dengan sistem Benteng yang membuat posisi pasukan Diponegoro terjepit.
Satu per satu para pemimpin perang yakni Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, dan Sentot Prawirodirjo ditangkap oleh Belanda.
Belanda melalui Jenderal De Kock berhasil menekan Pangeran Diponegoro dan pasukannya di Magelang. Di sanalah Pangeran Diponegoro menyerah dan ditangkap.
Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.
Ditangkapnya Pangeran Diponegoro menjadi akhir perlawanan kaum bangsawan Jawa. Pertempuran tersebut menewaskan banyak orang.
Merujuk M.C. Ricklefs dalam 'A History of Modern Indonesia Since 1300" disebutkan, peristiwa sejarah Perang Diponegoro itu menimbulkan korban 8.000 jiwa dari pihak Hindia Belanda, 7.000 orang pribumi, dan 200.000 warga sipil.
(imb/fef)