Pemerintah Daerah diminta tak lepas tangan dalam pengawasan penyaluran bantuan sosial (bansos) yang rentan disunat. Di pihak lain, Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Risma juga disarankan lebih berupaya membenahi sistem.
Penyaluran bansos tersebut menemui sejumlah masalah di daerah, berdasarkan hasil blusukan Risma. Ada pemda yang menahan sebagian pencairan bansos, bahkan ada pendamping bansos yang diduga mencatut bansos seperti ditemui di Depok dan Tangerang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Politik Ujang Komarudin menilai Pemda idealnya punya peran sebagai pengawas dalam distribusi bansos karena lebih mengenal daerahnya.
"Pemda juga tidak boleh abai atau lepas tangan atau mengatakan tak tahu ada dugaan kecurangan bansos di daerahnya. Sudah tugas Pemda untuk mengawasi jalannya penyaluran bansos bagi rakyat," kata dia, dalam keterangannya, Kamis (29/7).
Selain itu, Pemda juga tidak boleh mengabaikan distribusi bansos meski bantuan tersebut berasal dari pusat.
"Ya itu [bansos dari pusat], Pemda yang awasi. Di daerah kan ada dinas sosial, kerja pengawasan itu mestinya satu paket dengan kerja distribusi bansos," tuturnya.
Kemensos memiliki tiga program bansos yakni, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Ketiga program itu menggunakan sistem elektronik dalam penyaluran dan distribusinya. Bansos PKH dicairkan melalui Himpunan Bank Negara (Himbara), BST dicairkan langsung oleh PT Pos Indonesia. Bantuan sembako dalam program BPNT bisa diambil langsung oleh penerima di e-warong menggunakan kartu.
Dalam upaya mengawasi penyaluran bansos, Risma blusukan ke sejumlah wilayah. Sejak awal menduduki kursi menteri sosial, Risma blusukan ke beberapa titik di Jakarta. Terbaru, ia blusukan ke Kota Tangerang, Banten, Rabu (28/7).
Di wilayah itu, warga mengaku harus membayar Rp50 ribu agar mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp200 ribu. Temuan lainnya, masih di Kota Tangerang seorang warga mendapat Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dengan nilai sembako yang kurang dari Rp200 ribu.
Dugaan pemotongan bansos juga dilaporkan di Depok, Jawa Barat. Seorang warga Depok melaporkan dugaan pemotongan jatah bansos senilai Rp50 ribu dari besaran Rp600 ribu yang seharusnya ia terima.
RT/RW setempat berdalih itu merupakan pungutan hasil kesepakatan demi memperbaiki ambulans dan penyediaan kain kafan gratis.
Sementara saat blusukan di Demak, Risma menemukan pencairan bansos yang harusnya tiga bulan, ditahan menjadi dua bulan saja. Atas temuan itu Risma marah kepada Kepala Dinas Sosial setempat.
Pengamat Sosial Universitas IndonesiaRissalwanLubis menilai mantan Wali Kota Surabaya itu harus lebih fokus memperbaiki sistem, mekanisme, dan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk program bansos.
![]() |
"Nah ini sebetulnya keliru menurut saya, harusnya dirapikan dulu mekanisme kerjanya seperti apa, perbaikan sistem, dan koordinasi dengan pemda, baru melakukan pengawasan," ujar Rissal, Kamis (29/7).
Ia meminta Risma lebih fokus pada penyempurnaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai data utama penerima bantuan sosial.
Aksi Risma memarahi petugas di lapangan, kata Rissal, sebenarnya bisa dihindari bila sistem penyaluran dan koordinasinya sudah bagus.
Senada, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga meminta Risma mengevaluasi sistem keseluruhan bansos sambil berkoordinasi dengan pemda ketimbang turun langsung ke lapangan.
"Jadi tugasnya itu juga membangun koordinasi dengan pemda untuk penyaluran dan pengawasan bansos. Buat mekanisme yang baik dan libatkan Pemda, bukan kerja sendirian. Makanya berhenti one man show itu," tuturnya.
(arh/mln/arh)