Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah untuk menetapkan level daerah yang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Menurut Masdalina, pemerintah terkesan tebang pilih dalam menggunakan indikator penetapan level PPKM suatu daerah. Ia menyebut pemerintah hanya menggunakan indikator baik dalam penetapan level-level tersebut.
"Ada indikator yang enggak dimasukin, ada yang enggak. Jadi milih indikatornya itu yang kira-kira, menyenangkan dan kemudian itu menggunakan data, yang bisa terbaca dari pusat," kata Masdalina kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/8) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masdalina misalnya mempertanyakan alasan pemerintah tak menggunakan kasus kematian sebagai indikator penetapan level PPKM. Akibatnya, beberapa daerah Jawa Barat dan Banten kini turun ke PPKM level 3.
Padahal, dua wilayah itu mencatat lonjakan kasus, baik pada kasus positif maupun kematian. Menurut Masdalina, Jabar diuntungkan karena memiliki jumlah penduduk yang besar.
"Sehingga seolah-olah masalahnya jadi kecil. Kan itu permainan angka. Tapi faktanya, daerah-daerah aglomerasi Jakarta, merah semua itu [Depok, Bekasi, Bogor]," katanya.
Masdalina mengaku tak mempermasalahkan pelonggaran aktivitas masyarakat di masing-masing level, baik level 1-4. Namun, kebijakan pelonggaran menjadi masalah sebab indikator yang dipakai tak sepenuhnya akurat.
Hal serupa turut disampaikan epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko. Menurut dia, pemerintah tak konsisten menggunakan indikator dalam menetapkan level PPKM.
Tri mengaku tak mempermasalahkan pelonggaran sejumlah sektor pada wilayah yang menerapkan PPKM level 4. Namun, ia meminta agar ada indikator yang jelas dalam keputusan pelonggaran, misalnya angka kasus positif (positivity rate) di bawah 10 persen.
"Kalau di bawah 5 persen ya dibuka 50 atau 75 persen begitu. Jadi pemerintah enggak konsisten, membuka dasarnya apa," kata dia.
Oleh karenanya, Tri menyarankan pemerintah perlu memperjelas sejumlah indikator tersebut. Selain rasio positif, ada pula testing, maupun tracing. Untuk testing, angka standar yang bisa digunakan satu tes per 1.000 populasi per hari, dan tracing minimal 10-20 kontak per satu kasus.
"Kalau enggak standar ya semuanya, enggak akan bisa dibandingkan," kata dia.
(thr/sfr)