Risma Tak Setuju Anak Muda Usia Produktif Dapat Bansos Tunai
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengaku keberatan jika ada penerima bantuan sosial tunai (BST) yang masih tergolong muda dan dalam usia produktif.
Risma menilai meski BST merupakan program untuk membantu pekerja yang terkena PHK karena pandemi Covid-19, namun bantuan senilai Rp300 ribu per bulan tersebut tidak bisa membuat anak muda produktif.
Lihat Juga : |
"Kenapa yang muda terus terang saya tidak setuju diberikan bantuan, karena yang disabilitas saja bisa sangat produktif," kata Risma dalam webinar 'Mengawal Reformasi Sistem Perlindungan Sosial Nasional', Kamis (12/8).
Pemberian BST pada anak muda yang produktif juga dinilai tidak akan memaksimalkan potensi penerus bangsa. Ini lantaran BST yang hanya sebesar Rp300 ribu tidak bisa digunakan sebagai modal untuk kembali bekerja.
Risma khawatir, anak muda produktif kedepannya akan terus bergantung dengan uang bantuan tersebut sehingga menjadi tidak produktif lagi.
"Kita tahu BST diberikan untuk yang PHK. Tapi kalau kita lakukan yang benar mereka seharusnya tak perlu menerima bantuan tapi kita beri alat produksi supaya mereka dapat bekerja maksimal," ujar Risma.
"Kalau dapat BST itu hanya 300 ribu. Padahal kalau kita bisa berdayakan energi, mereka bisa kerja maksimal itu mungkin bisa lebih [pendapatannya]," sambung Risma.
Kemiskinan karena Budaya
Risma juga menyoroti kemiskinan di Indonesia lebih cenderung disebabkan oleh budaya bukan karena faktor riil.
"Jadi kami bekerja sama dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia, dan mereka menyampaikan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan miskin riil. Ada budaya yang melandasinya," ujar Risma.
Salah satu contoh nyata, kata Risma adalah kemiskinan di masyarakat Indonesia terjadi disebabkan karena ada perbedaan waktu kerja.
"Ada salah satu perguruan tinggi meneliti kemiskinan, bagaimana mungkin dia miskin tapi dia bekerja mulai jam 7 pagi-10 pagi, yang mestinya bisa bekerja 8 jam. Bagaimana mereka bisa meningkatkan keuangannya kalau mereka hanya bekerja 2-3 jam sehari," tutur Risma.
Faktor kemiskinan lainnya yakni tidak memiliki alat produksi. Menurut Risma seorang petani misalnya, baru bisa disebut petani jika dia memiliki sawah. Namun kebanyakan petani di Indonesia merupakan buruh tani yang menggarap lahan sawah milik orang lain.
"Kemudian kemiskinan selanjutnya karena tidak punya alat produksi, petani tidak punya sawah, nelayan tidak punya perahu atau perahunya sangat kecil sehingga tangkapannya tidak maksimal," ujarnya.
Risma mengaku pihaknya sedang memaksimalkan program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat untuk bekerja. Selain dengan bantuan sosial, pihaknya juga akan membangun akses pekerjaan untuk warga miskin agar pendapatannya meningkat.
"Ini yang menjadi sorotan kami bagaimana pengentasan kemiskinan. Jadi bukan hanya melihat data secara fisik, tapi juga akan kita analisa bagaimana dia menjadi miskin dan kita bantu untuk meningkatkan pendapatannya," pungkas Risma.
(mln/ain)