Terdakwa kasus kepemilikan senjata api ilegal, Mayor Jenderal (Purn), Kivlan Zen mengaku tak masalah dituntut 7 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Kivlan menyebut proses hukum terhadap dirinya merupakan konsekuensi politik terkait peristiwa kerusuhan 21-22 Mei 2019 usai pemilihan presiden (pilpres).
"Enggak apa-apa, saya enggak menyalahkan siapapun. Keadaan memang situasi politik pada 21-22 Mei (2019), yang kerusuhan dicari siapa yang punya senjata nembak," kata Kivlan di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kivlan mengatakan membuat pleidoi atas tuntutan 7 bulan penjara. Ia berkukuh dirinya tak bersalah dalam kasus ini. Namun, Kivlan mengaku tak menyimpan dendam kepada siapapun, termasuk kepada jaksa dan polisi.
"Saya nyatakan enggak bersalah, bisa dibuktikan. Saya enggak dendam sama siapapun, enggak dendam sama jaksa, enggak dendam sama polisi," ujarnya.
"Ini cuma formal lah untuk menunjukkan saya bersalah tujuh bulan," kata mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat tersebut.
Dalam tuntutan, jaksa menilai Kivlan terbukti secara sah dan meyakinkan atas kepemilikan senjata api ilegal. Ia disebut melanggar Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.
Beberapa barang bukti disita dalam perkara ini, antara lain lima pucuk senjata api dalam berbagai jenis, dan dua boks peluru tajam dengan 98 butir peluru.
Diketahui pada 21-22 Mei 2019 terjadi kerusuhan usai pengumuman hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2021. Kerusuhan bermula dari unjuk rasa pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di sekitar Bawaslu. Pasangan tersebut kalah dari Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Lebih dari 400 orang ditangkap dalam peristiwa itu. Sementara delapan orang tewas ditembak oleh orang tak dikenal.