Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menggulirkan wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk mengatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Sejumlah pakar menilai gagasan itu sebagai indikasi kembalinya sistem pemerintahan ala Orde Baru.
Wacana amandemen UUD 1945 telah bergulir sejak tahun lalu. MPR RI yang dinakhodai Bambang Soesatyo bersikukuh menambah kewenangan merumuskan PPHN.
Mereka beralasan PPHN akan menyediakan panduan bernegara jangka panjang. Menurut Bamsoet dkk., PPHN akan jadi penunjuk arah pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah wacana bergulir, beberapa hal jadi ketakutan publik. Misalnya, penambahan pasal soal jabatan tiga periode presiden. Hal lain yang dikhawatirkan disusupkan dalam amandemen adalah pemilihan presiden lewat MPR.
MPR RI selalu membantah kekhawatiran itu dengan menjamin amandemen dilakukan terbatas hanya seputar PPHN. Namun, satu tahun lebih wacana bergulir, MPR tak pernah membeberkan kajian akademis atau draf naskah ke publik.
Kecurigaan terlanjur tertanam di publik, wacana sempat meredup beberapa bulan terakhir. Akan tetapi, Bamsoet kembali lantang mempromosikan gagasan itu jelang Sidang Tahunan MPR RI 2021.
Pada sidang tersebut, Bamsoet pun menyatakan kembali wacana amandemen UUD 1945. Ia meyakinkan semua pihak bahwa Indonesia butuh PPHN sebagai tuntunan pembangunan.
"Oleh karenanya diperlukan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN," ucap Bamsoet dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8).
Presiden Joko Widodo sempat merespons rencana MPR itu. Akan tetapi, ia tak menyatakan dukungan gamblang terkait amandemen UUD 1945.
Pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva mengatakan rencana pembuatan PPHN dalam amandemen UUD 1945 hanya akan mengembalikan sistem ketatanegaraan seperti jaman Orde Baru.
Menurutnya, PPHN dalam amandemen UUD 1945 akan serupa Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Padahal, GBHN telah dihapus pascareformasi dan diganti dengan undang-undang.
"Bagi saya kita setback pada model yang lama, model pemerintahan yang lama. Setback kita karena sebenarnya sudah ada mekanisme UU RPJP (Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025) pengganti GBHN, tidak perlu lagi," kata Hamdan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (23/8).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai amandemen UUD 1945 tidak akan berhenti di penambahan wewenang MPR RI untuk merumuskan PPHN. Ia menyebut akan ada perombakan sejumlah pasal UUD 1945 sebagai konsekuensi keberadaan PPHN.
Hamdan mencontohkan pasal soal kewenangan MPR RI mengawasi pelaksanaan PPHN yang dilakukan pemerintah. Kemudian, kewenangan MPR RI menilai kinerja presiden berlandaskan PPHN yang telah dirumuskan.
"Bisa jadi presiden diberhentikan oleh MPR karena kebijakannya melanggar. Setiap saat presiden terancam diberhentikan oleh MPR atau akan ramai secara politik setiap saat presiden ditekan habis berdasarkan PPHN," ujarnya.
Hamdan berpendapat rencana pengaturan PPHN lewat amandemen UUD 1945 tak memberi dampak positif bagi rakyat. Ia menilai rencana itu hanya akan menguntungkan elite politik di parlemen.
Ia berkata MPR RI akan kembali jadi lembaga superbodi. Lembaga itu punya kekuasaan begitu besar karena bisa memberhentikan kepala negara.
"PPHN jadi kepentingan politik MPR jadinya. Sudah pasti partai-partai berkuasa (yang diuntungkan). Presidennya kasihan, apalagi kalau dari minoritas," tuturnya.
Dia mencontohkan saat pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak MPR RI. Saat itu, MPR begitu berkuasa dan Habibie tak punya dukungan mayoritas di parlemen.
Begitu pula saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tumbang di awal reformasi. Menurutnya, saat itu posisi MPR masih begitu perkasa. Di saat yang sama, Gus Dur tak punya modal dukungan mumpuni di pemerintahan.
"Nanti permainan politiknya adalah permainan politik MPR. Ini bisa membuat stabilitas pemerintahan terancam," kata Hamdan.
"Padahal, kita sudah bangun adalah MPR itu tidak dengan mudah memberhentikan presiden karena MPR politisi semua," lanjutnya.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan mempertanyakan urgensi MPR RI mengamandemen UUD 1945. Dia menilai saat ini bangsa Indonesia lebih membutuhkan peran negara menuntaskan pandemi Covid-19 ketimbang perubahan konstitusi.
Selain itu, ia mempertanyakan transparansi rencana UUD 1945. Asep berpendapat rencana yang minim transparansi justru menimbulkan kecurigaan publik bahwa rencana ini hanya sebatas kepentingan elite politik.
"Tidak ada jaminan MPR hanya fokus membuat PPHN saja, jangan-jangan yang lain bisa diubah lagi. Misal, jabatan presiden tiga periode atau penguatan wewenang DPD," ujar Asep saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (23/8).
Asep mengakui memang butuh haluan negara untuk memperjelas alur pemerintahan dalam jangka panjang. Namun, menurutnya tidak harus lewat amandemen UUD 1945.
Jika pun harus amandemen, Asep meminta MPR RI periode ini membeberkan kajian lengkap soal substansi PPHN. Kemudian, amandemen dilakukan periode berikutnya agar rakyat bisa memutuskan pilihannya.
"Kalau belum tahu apa isinya, tiba-tiba haluan negara, bisa jadi substansinya mengganggu negara hukum berkeadilan, mengganggu demokrasi berkeadaban," katanya. "Kita setback, mundur betul, kalau ada substansi seperti itu."