KOLOM

Ramai-ramai 'Menghina' Orang Miskin

Fauzan Mukrim | CNN Indonesia
Kamis, 26 Agu 2021 11:37 WIB
Eks Menteri Sosial Juliari Batubara divonis 12 tahun dalam kasus korupsi bansos Covid-19. (Antara/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia --

Intan Gurnita Widiatie sampai merasa perlu ikut buka suara membela putrinya. Ibu penyanyi Nadin Amizah itu menyebut pernyataan Nadin yang dianggap menghina orang miskin, bisa jadi berasal dari nasihat yang ia ajarkan.

"Suatu hari disampaikan pada anak-anak, 'Jadilah mukmin yang kaya raya, supaya bisa lebih banyak sedekah'. Di kemudian hari satu dari anak menyampaikan kembali ucapan itu pada jagad raya, 'Jadilah orang kaya, supaya lebih mudah berbuat baik'. Tidak serupa tapi searah tujuannya," tulis Intan melalui akun media sosial pribadinya pada Januari lalu, berselang beberapa hari setelah keriuhan itu muncul.

Keriuhan itu berawal dari wawancara Nadin dengan Deddy Corbuzier di kanal Youtube Deddy.

Di wawancara podcast itu, Nadin membandingkan antara orang kaya dan orang miskin, dengan tendensi menganggap "orang miskin itu jahat".

"Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah menjadi orang baik. Dan saat kita miskin rasa benci kita terhadap dunia udah terlalu besar sampe kita juga enggak punya waktu untuk baik ke orang lain," begitu kata Nadin, yang dengan segera memicu reaksi warganet. Bahkan ada yang menyebutnya rasis.

Belakangan, penyanyi muda berbakat yang wajahnya pernah terpampang di Times Square New York itu, minta maaf atas pernyataannya itu.


Kira-kira 3 bulan setelah ramai-ramai Nadin Amizah, seorang tokoh lain muncul dengan pernyataan yang juga dianggap menyinggung orang miskin. Kali ini nama penceramah Yusuf Mansur yang dibawa-bawa.

Saya pertama kali tahu dari cuitan penulis Feby Indirani.

"Ustaz kondang Yusuf Mansyur baru saja bilang di Metro TV, 'Mohon maaf nih, kalau Anda miskin, coba cek, pasti Anda kurang ibadah'. Kasian banget kaum miskin di negara ini ya, sudah ditindas struktur disalahkan ustaz kaya raya pulak," tulis Feby dalam akun Twitternya, Jumat (16/4).

Agak panjang sebenarnya uraian ustaz makmur itu. Tapi pada intinya ia mengaitkan antara kemiskinan dan kurang ibadah.

"Maaf ya, karena itu, banyak orang yang misalkan tetap miskin, maaf, maaf, maaf, enggak selalu sih, tapi bolehlah dipakai untuk kemudian muhasabah kan, apa saya kurang bersih, apa saya kurang suci, apa saya kurang nendang amalan saya. Kalau salat nggak berjemaah, salat nggak ada qobliyah-ba'diyah. Salat enggak ada zikir wirid dan doa, hari-hari kemudian nggak ada bacaan Qur'an, nggak ada sedekah, ya pantes aja gitu loh. Kita enggak dekat sama Sang Raja. Kalau nggak dekat sama Sang Raja, korelasinya adalah kita nggak bisa menikmati pelayanan-pelayanan yang spesial. Nah, kita harus jadi orang yang spesial, bisa berangkat dari kita sama-sama mensucikan diri kita," kata Yusuf Mansur sebagaimana ditranskrip oleh Detikcom.

Belakangan, sama seperti Nadin, Ustaz Yusuf Mansur juga minta maaf atas pernyataannya itu.

Saya percaya, baik Dik Nadin maupun Ustaz Yusuf Mansur, tidak bermaksud menghina kemiskinan atau orang miskin secara terang-terangan. Kedua tokoh kita ini mungkin terpeleset lidah saja. Kita berharap, yang semacam ini tidak terjadi lagi dalam bentuk apa pun. Kasihan orang miskin didiskreditkan melulu dari berbagai lini.

Vonis Juliari ringan karena di-bully

Senin (23/8) lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membacakan putusan terhadap terdakwa Juliari P. Batubara. Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan terkait korupsi bansos Covid-19. Vonis tersebut lebih tinggi setahun dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK.

Juliari adalah mantan Menteri Sosial yang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan korupsi. Juliari menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari para rekanan penyedia bansos Covid-19 di kementerian yang ia pimpin.

Meski lebih tinggi daripada tuntutan jaksa, sebagian kalangan menilai vonis tersebut terlalu ringan. Pencoleng di masa pandemi seharusnya dihukum sangat berat.
Apalagi ketika anggota majelis hakim Yusuf Pranowo membacakan salah satu alasan yang meringankan vonis Juliari.

Menurut Yusuf, karena "Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat."

Maka tertawalah orang-orang.

Ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah peradilan Indonesia, bully-an jadi materi yang meringankan vonis.

Indonesia Corruption Watch (ICW) malah menyebut pertimbangan hakim itu tidak masuk akal.

Saya sebenarnya mau ikut tertawa juga, tapi enggak ngerti hukum. Bahkan sekadar hukum sederhana pun saya bingung bagaimana penerapannya.

Saya ingat salah satu kejadian di mana saya terseok-seok memahami apa itu hukum dan keadilan. Saya sedang asyik membaca buku Pak Bismar Siregar, saat anak saya River tiba-tiba menghampiri. Umurnya baru 5 tahun waktu itu.

"Buku apa itu, Ayah?"

"Buku hukum," jawab saya sambil berharap pembicaraan tidak memanjang. Tapi saya salah.

"Hukum itu apa? Tidak boleh main sepeda?"

Biasanya kalau dia malas ngaji, dia "dihukum" oleh ibunya tidak boleh main sepeda seharian.

"Bukan. Hukum itu tentang keadilan."

"Keadilan itu apa?"

Wah, berat ini. Saya sebenarnya mau menjelaskan konsep paling sederhana bahwa adil itu sama rata sama rasa, tapi takutnya nanti dianggap mengajarkan komunisme pada anak. Ujung-ujungnya nanti dianggap atheis lagi.

Tapi karena sudah tekad saya untuk menjawab apa pun pertanyaannya, maka saya berusaha mencari contoh.

"Misalnya begini, ada kue dorayaki. Supaya Mama, Ayah sama River semua kebagian, kuenya kita potong tiga sama besar."

"Tidak bisa!" si River tiba-tiba memotong, "Buat River yang lebih gede."

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena River suka dorayaki. Ayah sama Mama kan tidak suka."

Obrolan dengan River itu langsung menyentil saya. Berapa banyak di antara kita yang sebenarnya tidak suka--atau bahkan tidak butuh--pada sesuatu tapi selalu menuntut bagian yang sama besarnya. Untuk apa?

Untuk ditumpuk. Ditimbun. Atas nama keadilan.

Langsung mumet kepala saya. Sebelum bocah ini datang "mengganggu", barusan saya masih berusaha mencerna konsep keadilan lain.

Seseorang yang mencuri di pagi hari dan seseorang yang mencuri di sore hari, seharusnya tidak mendapatkan hukuman yang sama, kata Pak Bismar di buku itu.

Itulah keadilan.

Pak Bismar adalah mantan Hakim Agung yang putusan dan pendapatnya sering kontroversial. Ia misalnya pernah mengusulkan MUI mengharamkan orang berhaji lebih dari satu kali, supaya ibadah suci itu tidak hanya dimonopoli orang kaya. Supaya semua orang bisa kebagian kuota dan tidak harus menunggu lama.

Saya tidak punya basis pengetahuan hukum, tapi dari tulisan-tulisan Pak Bismar Siregar itu saya baru tahu bahwa ada beda antara "ketetapan hukum" dan "keadilan".

Dalam setiap kasus, ketetapan hukumnya sudah jelas dan sama di depan semua hakim, tapi soal menyediakan keadilan ini yang beda-beda. Setiap hakim punya jalan pedangnya masing-masing.

Itu sebabnya kursi hakim tidak boleh diduduki oleh sembarangan orang.

Majelis hakim yang mendakwa Juliari dengan vonis "ringan" itu tentu juga bukan orang sembarangan.

Mereka orang-orang bijaksana. Perlu kebijaksanaan paripurna untuk memasukkan "terdakwa sudah cukup menderita dihina" sebagai pertimbangan meringankan hukuman Juliari.

Bahwa putusan tersebut justru malah terkesan menghina balik masyarakat, terutama orang-orang miskin yang terhambat haknya mendapatkan bantuan sosial yang layak selama pandemi, itu mungkin lain soal di mata hakim.

Ah, itu kan perasaan para 'Sobat Misqueen' aja. Semua senang kok dengan putusan ini. Tidak ada tuh orang miskin yang merasa dihina. Jadi tidak perlu minta maaf seperti Nadin Amizah atau Yusuf Mansur.

(stu)
PROFILE

Fauzan Mukrim

Menulis buku "Mencari Tepi Langit" (2010), "Berjalan Jauh"(2018), #dearRiver (2018), dan #dearRain (2019). Kini Supervisor Assignment Editor di CNN Indonesia TV. Menyukai band "Pearl Jam".

Selengkapnya