Sementara itu, penghapusan mural di Yogyakarta mencuat ketika petugas Satpol PP menghapus coretan kritik 'Dibungkam' dan 'Ditindas' di bawah Jembatan Kleringan Kewek, dalam tempo sekitar kurang dari 24 jam.
Penghapusan oleh aparat yang juga kemudian viral itu kemudian menimbulkan gerakan perlawanan berupa lomba satire yang digelar gerakan Gejayan Memanggil, Dibungkam. Lomba mural menyindir aparat yang reaktif itu digelar hingga akhir Agustus ini, dan disebutkan sudah diikuti muralis dari sejumlah wilayah Indonesia. Di mana beberapa di antarnya juga sudah dihapus aparat.
Kawasan DI Yogyakarta sendiri terkenal karena seni, terutama seni lukis hingga street art. Di sudut-sudut kota, mudah saja ditemui mural atau coretan dinding baik yang bermuatan khazanah budaya hingga protes sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, sejumlah warga pun mengaku heran dengan tindak tanduk aparat yang mudah saja segera menghapus mural beraroma kritik, terutama di Yogyakarta.
Salah satunya Gregorius Aditya yang mengaku sudah melihat mural-mural sejenis bertebaran sejak lama. Ia mempertanyakan mengapa upaya penghapusan konten-konten di dinding tersebut seolah baru menjadi fokus aparat satu dua bulan belakangan ini.
"Menurutku ini lebih kepada arahan pihak berwenang untuk menjaga kestabilan. Sayangnya, langkah ini diambil terlalu cepat sehingga menimbulkan kehebohan, kesannya reaktif. Efeknya, justru memancing untuk membuat mural seperti ini lebih banyak lagi," kata Adit, warga, Mlati, Sleman ditemui di seputaran Jalan Solo, Sleman, Jumat (27/8).
![]() |
Secara pribadi, Adit memandang menjadikan dinding sebagai kanvas menyuarakan aspirasi layaknya mural ini sah-sah saja. Begitu pula dengan 'Lomba Mural Dibungkam' dari Gejayan Memanggil yang sepenuturannya jadi imbas nyata penghapusan karya di tembok-tembok.
Kendati, lanjut pria yang bekerja sebagai supervisor di perusahaan produsen produk nutrisi itu, para seniman jalanan juga harus menyadari adanya Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat (Trantibum) yang bakalan membatasi.
"Lomba itu merupakan respon dari orang-orang yang melihat aparat, jadi malah ke-trigger untuk tambah usil. Selama tak merusak atau mengganggu fasilitas umum, kritik terhadap pemerintah sah-sah saja. Asal berbobot, tak sekadar vandal atau bisa juga di tembok pribadi yang disepakati (jadi lokasi mural)" katanya.
Franzia Nala (21) berpendapat tak jauh beda. Mural, kata dia, adalah salah satu bentuk menyampaikan pendapat di muka umum. Dia sepakat ketika Gejayan Memanggil menggelar 'Lomba Mural Dibungkam' lantaran baginya aparat kepolisian dan pemerintah daerah sudah terlalu responsif.
"Ya kalau dalihnya mau negakkin Perda ya sekalian aja yang nulis-nulis 'Jogja Istimewa' dan lain sebagainya kalau memamg belum ada izin, hapus sekalian aja," ucap mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Sleman ini, Jumat.