Jejak Kasus Dosen Unsyiah Saiful Mahdi Korban UU ITE
Presiden Joko Widodo diminta memberikan amnesti dan membebaskan Dosen Jurusan Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala Aceh, Saiful Mahdi, yang divonis tiga bulan penjara atas kasus pencemaran nama baik.
Saiful akan menjalani hukuman penjara. Ia didampingi istrinya, Dian Rubianty, menuju Kejari Banda Aceh untuk menjalani eksekusi.
"Di saat Pak Saiful Mahdi dieksekusi, kami melakukan hal yang sama [mengajuķan amnesti]. Jadi, surat datang dari dua, baik dari pak Saiful Mahdi maupun penasihat hukumnya," ujar Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam konferensi pers virtual, Kamis (2/9).
"Semoga pak Presiden dan teman-teman di Istana juga DPR memberikan persetujuan amnesti kepada pak Saiful Mahdi," sambungnya.
Menurut Isnur, amnesti merupakan suatu hal yang penting agar potensi pembungkaman kebebasan akademik, berekspresi, dan bersuara tidak terjadi lagi ke depannya. Jokowi, lanjut Isnur, wajib mengabulkan amnesti karena mempunyai sikap senada yang melihat ada permasalahan dalam UU ITE.
"Pak Jokowi menyatakan setuju dengan problematika UU ITE dan dia akan merevisi UU ITE, maka sangat layak bahkan cenderung wajib Pak Presiden mengabulkan amnesti dari pak Saiful Mahdi," ucap Isnur.
Kasus
Kuasa hukum Saiful, Syahrul Putra Mutia, menuturkan kronologi kasus ini bermula dari kritik yang dilontarkan Saiful terhadap proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk dosen di Fakultas Teknik Unsyiah, 25 Februari 2019.
Saiful mengetahui ada salah satu peserta yang dinyatakan lolos padahal salah mengunggah berkas. Kritik disampaikan Saiful melalui WhatsApp Grup pada Maret 2019 dengan isi sebagai berikut:
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!!"
"Kritik makna korup dimaknai sebagai korupsi. Padahal, kalau mau dianalisis kata per kata korup itu adalah sistem yang salah. Namun, fakultas teknik diwakili dekannya [Taufik Mahdi] dianggap menuduh dekan Fakultas Teknik melakukan korupsi. Atas ketidakmampuan menerima informasi itu, kemudian dekan melaporkan Saiful Mahdi ke Polresta Banda Aceh," tutur Syahrul.
Saiful lalu dilaporkan ke Polresta Banda Aceh pada Juli 2019. Kemudian, tepatnya pada 2 September 2019, Saiful ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Dalam perjalanan kasus, majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan. Saiful dinilai bersalah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 UU ITE.
Tak menerima putusan, Saiful mengajukan upaya hukum banding namun ditolak. Pun begitu dengan upaya hukum kasasi yang berakhir kandas.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai putusan bersalah oleh MA dan lembaga peradilan di bawahnya terhadap Saiful tidak mencerminkan keberpihakan pada kebebasan akademik.
"Bahwa badan peradilan kita terutama hakim-hakim memperlihatkan ketidakberpihakan kepada kebebasan akademik," ujar Susi dalam agenda eksaminasi putusan kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik, dilansir dari Antara.
Secara umum, dari kasus yang menimpa Saiful Mahdi, Susi menilai runtuhnya dunia pendidikan tinggi disebabkan oleh dua hal. Pertama, faktor internal yakni pimpinan di kampus yang tidak memiliki karakter pemimpin akademik melainkan lebih kepada pemimpin birokrat administratif.
Kemudian, faktor eksternal berupa intervensi cabang-cabang kekuasaan dalam sebuah negara.
(ryn/bmw)