Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya menjelaskan fenomena nilai CT value rendah sampai 1,8 pada sampel PCR sejumlah pasien Pekerja Migran Indonesia yang terjangkit virus corona (Covid-19).
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan RSLI, Fauqa Arinil Aulia mengatakan nilai CT value itu bisa dipengaruhi oleh alat dan jenis PCR. Masing-masing metode, bisa menunjukan nilai CT value yang berbeda karena satuan hitungannya.
"Memang di beberapa pasien ditemukan CT value rendah. Cuma yang perlu diwaspadai saat kita menghitung CT value itu, harus memperhatikan alat dan reagen yang digunakan," kata Fauqa kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PCR (polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik diagnostik yang dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik material genetik dari suatu sample yang diperiksa.
Fauqa menyebut PCR sendiri ada beberapa jenis, di antaranya adalah RT-PCR (reverse transcription PCR) dan iiPCR (insulated isothermal PCR).
Teknik spesifik yang digunakan pada kedua pemeriksaan ini berbeda. RT-PCR temperatur yang digunakan pada proses amplifikasi gen target bersiklus-siklus, sementara pada iiPCR temperaturnya cenderung konstan (isothermal).
Fauqa mengatakan sampel sejumlah pekerja migran yang memiliki nilai CT value rendah ekstrem di angka 1,8 kemarin, mereka ternyata diperiksa menggunakan metode iiPCR.
Menurutnya, jika CT value mereka senilai 1,8 pada metode iiPCR, dikonversi dalam satuan yang ada pada metode RT-PCR, hasilnya berada di angka 20 ke bawah.
"Jadi kalau misalkan terbaca rendah di satu reagen [II-PCR], dan di reagen [RT-PCR] yang lain bisa berbeda," ujarnya.
Fauqa menyebut hasil kedua metode sama-sama rendah sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan whole genome sequencing (WGS). Hal itu sebagaimana anjuran dan tata laksana dari Satgas Penanganan Covid-19 pusat.
Namun, kata Fauqa, untuk mendeteksi kadar virus secara kuantitatif dalam tubuh pasien, kedua metode pemeriksaan ini tidak bisa dijadikan acuan tunggal. Hasil PCR ini masih perlu dikonfirmasi kembali dengan menilai gejala klinis.
"Tapi seperti panduan Kemenkes tata laksana untuk gejala ringan, itu monitoring utamanya bukan dari PCR, tapi dari klinisnya. Apakah masih ada gejala, atau sudah membaik, atau belum. PCR dan CT value ini hanya penunjang," katanya.
Lebih lanjut, Fauqa menyebut CT value rendah juga tidak bisa digunakan untuk mendeteksi varian atau mutasi virus yang menjangkit dalam tubuh pasien. Termasuk soal potensi adanya varian baru yang bersarang.
"Varian itu baru bisa bilang setelah WGS, kalau belum ada data WGS kami belum bisa bilang," ujarnya.
Sebelumnya, tim medis di RS darurat Covid-19 Surabaya, atau RSLI menemukan fenomena aneh dari sejumlah pasien yang tengah dirawat. Mereka merupakan pekerja migran yang baru pulang ke Jawa Timur.
Penanggungjawab RSLI, Laksamana Pertama dr Ahmad Samsulhadi mengatakan salah seorang pasien itu menunjukkan hasil CT value yang sangat rendah, berada di angka 1,8. Dikhawatirkan hal itu merupakan tanda-tanda inveksi Covid-19 mutasi baru.
"Karena kami menemukan nilai CT value 1,8 pada satu pasien," kata Samsulhadi, Rabu (8/9).
Tak hanya pada satu orang, Samsulhadi menyebut hasil CT value yang rendah juga ditemukan di sejumlah pekerja migran lain. Angka CT value yang rendah itu tbertahan bahkan hingga 10 hari mereka dirawat.