Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) bukan salah Kemenkumham.
Dia mengatakan bahwa lapas ibarat pembuangan akhir. Kemenkumham, kata dia, tidak bisa menolaknya, sehingga terjadi kelebihan jumlah penghuni. Menurutnya, lebih baik KUHP direvisi.
"Sekali lagi saya tegaskan tidak ada kesalahan Kemenkumham soal over kapasitas lapas," kata Eddy dalam diskusi bertajuk Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Selasa (21/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eddy menjelaskan bahwa kelebihan kapasitas lapas merupakan implikasi dari penegakan hukum yang dilakukan aparat. Termasuk juga sistem peradilan yang mengeluarkan vonis hukuman penjara.
Menurutnya, hukum pidana dijadikan sarana balas dendam atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Walhasil, ada begitu banyak pelanggar hukum yang ujungnya diberi hukuman penjara.
"Ini yang saya katakan bahwa aparat penegak hukum kita masih berkutat pada hukum pidana zaman 'hammurabi'," ucap dia.
Ketika ada orang atau pelanggar hukum yang divonis hukuman penjara, Kemenkumham tidak bisa menolak. Lapas pun tidak bisa menolak untuk menempatkan orang yang telah divonis tersebut.
Sementara jumlah orang yang divonis penjara ada begitu banyak. Akibatnya, lapas di Indonesia kerap diisi narapidana hingga melebihi kapasitas.
"Kemenkumham tidak bisa menolak eksekusi dari jaksa. Kita ini tempat pembuangan akhir," kata Eddy.
Melihat masalah kelebihan kapasitas lapas saat ini, ia berpandangan membangun lapas atau gedung baru bukan solusi terbaik. Selain tidak efektif, hal itu juga akan memakan biaya yang tidak murah.
"Untuk membangun satu lapas dengan sistem pengamanan yang standar membutuhkan biaya Rp300 miliar," ujar dia.
Dia lebih suka menyarankan agar ada upaya merevisi Undang-Undang Tentang Narkotika, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU tentang Lembaga Pemasyarakatan.
(antara/bmw)