'Sultan' Angling Dharma Disebut Himpun Dana dari Pendoa

CNN Indonesia
Kamis, 23 Sep 2021 18:18 WIB
Polisi menyebut Angling Dharma Pandeglang bukan Kerajaan, namun hanya warga yang suka dengan corak kerajaan serta membantu warga dari uang yang meminta doa.
Singgasana Baginda Sultan Iskandar Jamaludin Firdaus di Pandeglang. (Foto: CNN Indonesia/Yandhi)

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, sang Sultan memiliki singgasana yang terbuat dari kayu dan ada pahatan berbentuk naga di bagian sandaran tangannya. Singgasana itu berada di sebuah bangunan kayu mirip rumah panggung.

Di atas pintu masuk berwarna merah muda, tertulis "Angling Dharma, Raja Wangsa Negara". Kemudian ada juga tulisan mirip syair dari bahasa Indonesia maupun Inggris. Seperti "Satria Piningit Turun Ke Permukaan Bumi. Salam Baginda Untuk Kalian Semua".

Aki Jamil menyebut singgasana itu kerap digunakan oleh raja untuk menerima tamu, mengadakan acara hingga memberikan isyarah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Singgasana itu kadang-kadang Baginda duduk di situ juga, semua juga isyarah. Berbicara Baginda ya berbicara singgasana," ujarnya.

Rindu Ratu Adil

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wildan Sena Utama menyatakan fenomena kerajaan ini bukan hanya perkara kegagalan pengajaran sejarah di bangku sekolah, melainkan bentuk frustrasi dan pelarian diri masyarakat akibat ketidakhadiran negara.

"Tampaknya dalam setiap zaman memang ada kerinduan terhadap sosok ratu adil yang bisa menyelamatkan orang dari keputusasaan dan kesulitan," ujar dia, saat dihubungi oleh CNNIndonesia pada Rabu (22/9).

Menurut Wildan, para pengikut kerajaan-kerajaan fantasi tersebut adalah orang-orang yang ingin mendapatkan prestise, privilese, dan legitimasi baru hingga menaikkan posisi sosial dan budaya mereka di tengah masyarakat.

Di saat yang sama, sistem ekonomi politik dan program pemerintah tak berpihak kepada mereka.

"Imajinasi tersebut muncul setelah kerajaan ini menawarkan kepada masyarakat suatu kesempatan baru yang mungkin tidak diberikan/difasilitasi oleh negara," tutur Wildan.

Selain itu, fenomena kehadiran kerajaan baru tersebut juga tak hanya dipercaya oleh orang-orang kelas menengah ke bawah.

"Kelas menengah perkotaan senang dengan konspirasi walaupun gayanya berbeda," imbuhnya.

Menurutnya, karangan konspirasi tersebut tersebut memanfaatkan sisi rapuh manusia yaitu perasaan. Terutama, perasaan frustrasi terhadap situasi sosial-ekonomi dan mentalitas jalan pintas yang tidak terbangun secara kritis.

Infografis tentang informasi seputar gejala, pencegahan dan penyebab depresi.Infografis tentang informasi seputar gejala, pencegahan dan penyebab depresi. (Foto: Astari Kusumawardhani)

"Eskapisme (pelarian diri) kepada kerajaan fiktif, apapun bentuknya, itu adalah pelarian masyarakat yang sudah tidak bisa berharap pada negara," tutur Wildan.

Terlebih, fenomena kerajaan fiktif ini menggunakan karakteristik yang sama dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti simbol, ritual, dan maskulinitas.

Senada, Mantri Luar Karaton Sumedang Larang Rd. Oni Doni Setiadi memaparkan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak tegas.

"Kami dari Keraton ya sangat menyayangkan banyaknya kerajaan baru tapi tidak ada respon tegas dari pemerintah, justru masyarakat sendiri yang berusaha mematahkan argumen mereka," ujarnya saat dihubungi oleh CNNIndonesia pada Rabu (22/9) melalui sambungan telepon.

Menurut Doni, kemunculan kerajaan baru juga disebabkan kerinduan masyarakat terhadap figur-figur yang mempunyai karakter kearifan lokal yang kuat.

"Ada yang menangkap animo tersebut, dan memunculkan kerajaan baru, ya kerajaan abal-abal," tambahnya.

Kehadiran kerajaan baru tersebut memberi dampak pada kerajaan yang hadir di atas fakta sejarah. Menurutnya, kemunculan kerajaan baru yang tidak jelas sejarah dan dasarnya hanya akan menjadi lelucon.

"Nanti itu cuma akan jadi dagelan dan memberi image jelek bagi kerajaan yang riil dan seutuhnya," tutup Doni.

(ynd/cfd/arh)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER