Pakar Militer Dorong Optimalisasi Program Cadangan Logistik
Pengamat militer Khairul Fahmi menyatakan bahwa pertahanan negara tak semata-mata terkait dengan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista). Ada aspek-aspek lain yang harus dipersiapkan untuk menangkal dan menanggulangi setiap ancaman, di antara logistik terutama pangan, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Khairul menjelaskan, logistik pangan perlu perhatian khusus karena luas lahan pangan saat ini terus menurun. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang Wilayah (Februari 2020) menunjukkan bahwa 7,75 juta hektare luas baku sawah nasional pada 2013 menyusut menjadi 7,465 juta hektare pada 2019.
"Artinya, sekitar 285 ribu hektare atau rata-rata 47.500 hektare lahan pertanian setiap tahun selama kurun 2013-2019, telah beralih fungsi," kata Khairul.
Di sisi lain, pembukaan dan perluasan lahan pertanian juga memiliki permasalahannya sendiri, misalnya soal lingkungan dan ekosistem. Hal ini kemudian melahirkan konsep pengembangan food estate, yang mengintegrasikan sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu kawasan.
Khairul yang juga co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) memaparkan, ada tiga aspek yang harus dipersiapkan dengan baik terkait kemampuan menangkal dan menanggulangi ancaman. Masing-masing adalah strategi, taktik, dan logistik.
"Secara lugas dapat dikatakan bahwa sepanjang sejarah manusia, logistik seringkali menjadi alasan terjadinya perang dan penguasaan logistik seringkali menjadi penentu kemenangan dalam perang," katanya.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan program cadangan logistik strategis (CLS) nasional sebagai antisipasi ancaman krisis pangan, sekaligus instrumen strategi pertahanan negara. Upaya pemenuhan hak pangan rakyat sepenuhnya disadari sebagai masalah strategis yang menyangkut kedaulatan dan jatuh bangun sebuah negara.
Adapun tujuan persiapan CLS nasional adalah pengembangan pertahanan yang kuat, dengan memiliki dimensi holistik melalui penguatan pertahanan militer dan nir-militer sekaligus. Khairul menegaskan, meski CLS nasional berlandaskan perspektif pertahanan negara, namun Kementerian Pertahanan tak serta-merta menjadi penjuru atau leading sector.
Sesuai peran dan fungsi dalam UU dan Perpres, Kementerian Pertanian tetap merupakan penyelenggara utama dalam pengelolaan ketersediaan pangan nasional, seperti juga dalam menghadapi ancaman krisis pangan, di mana kementerian/lembaga terkait bertindak sebagai pendukung.
"Karena itulah kemudian Kementerian Pertahanan mendapat peran dalam hal pengembangan CLS untuk mendukung pertahanan negara dalam situasi yang bersifat kedaruratan, semisal bencana alam, wabah yang berkepanjangan, bencana peperangan, dan kondisi kahar lainnya," ujar Khairul.
Sebagai salah satu implementasi, Kementerian Pertahanan lalu berfokus menggarap tanaman singkong selaku komoditas yang apabila dikelola dengan baik akan dapat memenuhi unsur CLS. Selain itu, juga mudah dibudidayakan, baik sebagai bahan pangan, bahan pakan, bahan farmasi, serta bahan bioindustri lainnya.
Menurut Khairul, hingga saat ini Indonesia masih sepenuhnya bergantung pada impor bahan baku pembuatan tepung terigu, misalnya dari Australia, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, serta Rusia. Sejak 2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbanyak di dunia. Pada 2020, dilakukan impor sebanyak 10,2 juta ton senilai US$2,6 miliar.
Dia mengungkapkan, program singkong sebagai CLS memiliki target utama untuk menghasilkan bahan baku cadangan pangan strategis guna memperpanjang ketersediaan cadangan pangan pokok nasional selama 120 hari pada 2024/2025.
"Dengan estimasi jumlah penduduk 280 juta jiwa dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) karbohidrat 300 gram/hari/kapita, maka diperlukan 10 juta ton karbohidrat yang setara dengan 40 juta ton singkong untuk perpanjangan waktu ketersediaan cadangan pangan pokok nasional tersebut," ungkap Kahirul.
Namun, pemerintah ternyata belum menyediakan distribusi anggaran yang memadai dan kerja sama antar sektor yang efektif. Khairul menyatakan, Kementerian Pertahanan belum mendapatkan anggaran yang dialokasikan secara langsung untuk menanam CLS tanaman singkong.
Sejauh ini, Kementerian Pertahanan mencanangkan target keseluruhan 60 ribu hektare, dengan 30 ribu hektare dikerjakan pada 2020-2021; terdiri dari 12 ribu hektare lahan di Kabupaten Gunung Mas, dan 18 ribu hektare lahan di Kabupaten Pulau Pisang dan Kapuas.
Adapun anggaran yang sudah direalisasikan adalah untuk land clearing lahan seluas 600 hektare di Kabupaten Gunung Mas oleh Kementerian PUPR, yang telah memberi izin kepada Kementerian Pertahanan. Sedangkan pembangunan infrastruktur didukung oleh anggaran Kementerian PUPR sendiri.
Khairul menyebut, dalam hal pelepasan lahan, Kementerian Pertahanan sangat bergantung pada izin dari KLHK. Hingga saat ini, sebagian besar target lahan untuk CLS tanaman singkong di bawah Kementerian Pertahanan baru sampai pada tahap proses pengajuan izin di KLHK.
"Padahal izin pinjam pakai lahan telah diajukan sejak Agustus 2020. Termasuk di dalamnya, lahan seluas 2 ribu hektare berupa hutan produksi yang dapat dikonversi, tetapi belum dapat dikelola, karena sebagian lahan tersebut sudah bersertifikat milik warga," katanya.
Khairul menegaskan, ketersediaan anggaran dan dukungan administrasi mutlak dibutuhkan dalam implementasi program Cadangan Logistik Strategis. Dia menilai, diperlukan akselerasi berupa kebijakan dan penganggaran yang responsif demi kelancaran perencanaan, persiapan, sampai pelaksanaan program.
Tanpa ketersediaan anggaran dan dukungan administrasi, visi menghadirkan dukungan pokok minimum yang dapat memperpanjang ketersediaan cadangan pangan pokok nasional selama 120 hari pada 2024/2025 disebut akan makin sulit direalisasikan sesuai rencana.
"Patut diingat, food estate sebagai payung program CLS merupakan bagian dari Program Strategis Nasional 2020-2024, dan hanya tersisa tiga tahun tersisa bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan agenda prioritas ini," ungkap Khairul.
(rea)