Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyinggung fenomena pasien sindrom long Covid-19 yang akan berubah menjadi bom waktu pasien Covid, sehingga fasilitas kesehatan (faskes) di Indonesia diharapkan siap menghadapi kemungkinan 'banjir' pasien.
Koordinator Pengelola Rujukan dan Pemantauan RS Kemenkes Yout Savithri menyebut kondisi long Covid-19 dialami para penyintas Covid-19 yang mengalami sejumlah efek samping atau perubahan pada kondisi tubuh.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menurutnya telah mencatat, setidaknya 65 persen pasien penyintas mengalami sindrom ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami lagi mendiskusikan penyakit long Covid-19, artinya penyakit long Covid-19 adalah bom waktu. Karena saya ingat sekali dokter Erlina (Ketua Pokja Infeksi PDPI) sempat bilang bahwa untuk pasien Covid-19 ini 65 persen ada gejala sisa bahkan ada fibrosis paru," kata Yout dalam acara daring, Kamis (7/10).
Yout melanjutkan, berdasarkan penelitian long Covid-19 ini juga menyerang sembilan organ manusia sehingga harus ada upaya antisipasi pemerintah baik dari segi pelayanan di faskes, hingga penyediaan obat-obatan yang sesuai.
Untuk itu, Yout meminta agar sejumlah organisasi profesi di Indonesia mulai menyiapkan manajemen klinis untuk penanganan pasien long Covid-19, sehingga Kemenkes mampu menindaklanjuti dengan membuat protokol tetap atau prosedur perawatan pasien long Covid-19 di Tanah Air.
"Jadi memang ini harus kita antisipasi, bagaimana mengatasi pasien long Covid-19 untuk meningkatkan kualitas hidupnya," kata dia.
Long Covid-19 belakangan masih menjadi momok bagi para penyintas Covid-19. Hanya saja sampai saat ini penyebab munculnya long Covid masih belum diketahui pasti. Beberapa gejala yang dialami mirip saat menderita Covid-19, di antaranya seperti sesak napas, sakit kepala, sakit badan, mudah lelah, rambut rontok, hingga sulit tidur.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kondisi long Covid-19 biasanya terjadi pada individu dengan riwayat terinfeksi Covid-19. WHO menyatakan, gejala long Covid-19 kemungkinan baru muncul setelah pemulihan awal yang termasuk bagian dari 'episode Covid-19 akut', gejala yang dirasakan juga bisa berfluktuasi atau kambuh dari waktu ke waktu.
Terpisah, Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menambahkan bahwa fenomena bom waktu pasien long covid-19 memang akan berpotensi membuat penambahan jumlah pasien covdi-19 di faskes.
Kendati demikian, Nadia menyebut bahwa pasien long covid-19 kebanyakan sudah tidak memerlukan rawat inap, melainkan hanya rawat jalan. Dengan begitu, tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) di sejumlah faskes diharapkan tidak kolaps.
"Bom waktu maksudnya di sini akan banyak orang pasca covid-19 yang masih harus perlu mendapatkan perawatan walau tidak menular ya, dan akhirnya akan membuat perawatan lebih lama," kata Nadia kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/10).
Nadia juga memastikan pemerintah telah menyiapkan strategi terapeutik guna menghadapi potensi lonjakan covid-19 yang dikhawatirkan membuat sejumlah faskes nyaris kolaps, seperti pernah terjadi pada Juli lalu.
Ia menyebut, pemerintah telah menyiapkan strategi untuk mengkonversikan 30-40 tempat tidur dari seluruh kapasitas tempat tidur untuk perawatan pasien covid-19 apabila terjadi kenaikan kasus covid-19 yang signifikan.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan kebijakan bahwa pasien yang harus menjalani rawat inap adalah mereka yang saturasi oksigennya kurang dari 95 persen, mengalami sesak napas atau gejala kritis lainnya. Di luar itu, maka pasien hanya perlu menjalani isolasi mandiri di rumah atau fasilitas isolasi terpusat.
"Jadi intinya long covid-19 itu tidak menular ya, karena itu gejala organ tubuh kita yang tadinya rusak karena infeksi covid-19, tapi virusnya sudah tidak ada," ujar Nadia.
(ugo/kha/ugo)