Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyebut pihaknya sudah menurunkan tim pencari fakta, salah satunya, untuk mengkaji perbedaan hasil visum dalam kasus kekerasan seksual terhadap tiga kakak beradik di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
"Kami sudah menurunkan tim dari Sahabat Anak, untuk berkoordinasi dan melakukan asesmen lanjutan secara komprehensif, terutama pengkajian soal perbedaan hasil visum dan pemeriksaan faskes yang lainnya," ujarnya, dalam kanal YouTube Kementerian PPPA, Senin (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sejak awal kasus ini muncul sudah melakukan koordinasi dan pemantauan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak baik di Luwu Timur maupun di Sulsel," lanjut dia.
Bintang pun mengajak seluruh pihak terkait, termasuk pendamping korban, untuk terus berupaya melengkapi fakta-fakta hukum yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehingga pihak kepolisian dapat membuka kembali kasus ini.
"Maka jika terbukti terjadinya kekerasan seksual, kami berharap pihak penegak hukum tindak tegas kepada pelaku, siapa pun pelakunya sesuai perundang-undangan yang berlaku dan memberikan efek jera kepada pelaku," pungkasnya.
Sebelumnya, Polres Luwu Timur mengunggah hasil visum kakak beradik di Luwu Timur yang tak menunjukkan tanda-tanda kekerasan. Hal yang berbeda diakui oleh pihak pelapor.
Terpisah, Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyarankan Polri untuk menggunakan bantuan penyelidikan secara saintifik alias scientific crime investigation dalam mencari bukti baru kasus tersebut.
"Dalam melihat kasus Luwu Timur ini, memang penting bagi penyidik untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah dan mencari alat bukti dengan bantuan scientific crime investigation," kata dia.
Menurut Poengky, ada beberapa kasus kriminal serupa yang berhasil diungkap dan dijatuhi hukuman pidana meski kejadian sudah bertahun sebelumnya.
Poengky pun memberikan artikel berita tahun 2019, di mana Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 20 tahun kepada bapak tiri yang telah melakukan rudapaksa terhadap anak tirinya sejak usia 12 tahun.
"Kasus di atas itu bisa jadi contoh bahwa penyidik dengan bantuan scientific crime investigation bisa mengungkap kasus perkosaan yang kejadiannya sudah lama sekali, dengan menggunakan tes DNA," ujar Poengky.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan menilai kasus mestinya dihentikan jika hasil visum tak menunjukkan tanda kekerasan seksual.
"Kami melihat kasus ini tidak cukup bukti serta tidak menemukan unsur pidana dalam hasil visum sehingga kasusnya dihentikan tahun 2019," klaimnya.
"Jika hasil visum tidak ditemukan sama sekali ada indikasi kekerasan, maka Polri berkewajiban menghentikan laporan tersebut," tandas dia.
Sebelumnya, seorang ASN di Luwu Timur dilaporkan terkait kasus dugaan perkosaan terhadap tiga anaknya. Kasus itu sempat dihentikan dengan dalih ketiadaan bukti.
(mir/antara/arh)