Namun, Anang melihat cara kerja relawan kini tak ubahnya partai politik. Mereka tak sedikit yang melakukan politik transaksional. Bisa dilihat dari jabatan-jabatan tertentu yang diduduki para elite relawan namun di luar kompetensi mereka.
Anang melihat mesin politik relawan sebetulnya tak cukup untuk mendongkrak elektabilitas tokoh politik. Dia mencurigai relawan bagian dari kinerja partai politik yang dilakukan di luar struktur.
Dalam kasus Jokowi, dukungan relawan memang berkontribusi besar memenangkan mantan wali kota Solo itu menjadi Presiden. Namun, ada banyak variabel, mulai dari ketokohan hingga peran media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi tidak hanya murni dari rakyat itu sendiri, tapi tetap membutuhkan sebuah ketokohan. Jadi tidak murni rakyat biasa, karena rakyat biasa belum tentu memiliki ketokohan dalam memimpin sukarelawan ini," katanya.
Hal serupa juga disampaikan pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto. Menurut Arif, banyak variabel yang bisa memenangkan seorang tokoh politik dengan hanya bermodal dukungan relawan.
Kesuksesan Jokowi pada 2014 dan 2019 juga dibantu oleh ketokohan Jokowi yang dianggap mewakili kelompok masyarakat bawah.
Lihat Juga : |
Kala itu, lanjut Arif, Jokowi melakukan blusukan sebagai antitesa pencitraan ala SBY. Padahal, upaya yang dilakukan Jokowi kala itu merupakan model pencitraan yang baru dikenal masyarakat.
"Blusukan adalah citra politik. Blusukan bukan tidak pencitraan. Blusukan itu pencitraan, yang ingin dibawa adalah anti pencitraan," kata Arif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (12/10).
Namun ia ragu hal itu akan kembali terulang pada tokoh politik kiwari seperti Puan atau Luhut.
Menurutnya, kehadiran politikus dengan citra baru saat akan sangat berperan dalam perolehan dukungan yang digalang relawan.
Sebab, sulit untuk mengukur dukungan relawan sebagai salah satu variabel kemenangan seorang kandidat dalam pemilihan.