Survei SMRC: 78 Persen Publik Tolak Amendemen UUD 1945
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa sebanyak 78 persen publik menolak amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Hal tersebut diketahui dari hasil survei SMRC terhadap 1.220 responden berusia 17 tahun ke atas dengan metode multistage random sampling.
Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas mengungkapkan bahwa penolakan itu terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, sebanyak 66 persen responden menilai UUD 1945 adalah rumusan terbaik dan tidak boleh diubah atas alasan apapun bagi Indonesia yang lebih baik.
Sementara kelompok kedua, sebanyak 12 persen responden menilai UUD 1945 saat ini paling pas bagi kehidupan manusia yang lebih baik meskipun regulasi itu merupakan buatan manusia dan mungkin ada kekurangan.
"Keinginan elite itu di tengah-tengah sikap warga yang pada umumnya tidak menghendaki perubahan pada UUD 1945, 78 persen," kata Sirojudin dalam pemaparan hasil survei 'Update Opini Publik tentang Amendemen UUD 1945' yang berlangsung secara daring pada Jumat (15/10).
Namun begitu, lanjutnya, ada 15 persen responden yang setuju dengan amendemen UUD 1945 yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, 4 persen responden setuju bahwa sebagian besar yang terkandung di UUD 1945 harus diubah untuk membuat Indonesia lebih baik. Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa beberapa pasal dari UUD 1945 perlu diubah atau dihapus untuk membuat Indonesia lebih baik.
"Ada 11 persen yang berpendapat beberapa pasal dari UUD 1945 perlu diubah atau dihapus,dan ada 4 persen yang menilai UUD 1945 sebagian besar harus diubah. Yang tidak tahu 7 persen," ucapnya.
Pertahankan Pilpres
Lebih lanjut, Sirojudin mengungkapkan bahwa mayoritas publik tetap menyatakan tidak setuju bila pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Menurutnya, sebanyak 87 persen responden menyatakan setuju bila presiden tetap langsung dipilih oleh rakyat.
"Publik umumnya setuju atau sangat setuju bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat, 87 persen, bukan oleh MPR. Hanya 10 persen warga yang setuju atau sangat setuju agar presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi dipilih oleh MPR," katanya.
Dia juga menyampaikan bahwa mayoritas publik menghendaki agar masa jabatan maksimal presiden dua periode tetap dipertahankan.
Menurutnya, responden yang ingin masa jabatan presiden diubah hanya 12 persen. Namun, dia menyampaikan, mayoritas dari responden tersebut ingin agar masa jabatan maksimal presiden diubah menjadi satu periode saja.
"Dari 12 persen yang menilai masa jabatan presiden harus diubah, ada 58 persen atau 7 persen dari total populasi) yang ingin diubah menjadi satu kali, untuk 5, 8, atau 10 tahun, serta ada 40 persen atau 5 persen dari total populasi yang ingin diubah menjadi lebih dari dua kali, masing-masing 5 tahun," tuturnya.
Sirojudin menambahkan, survei pihaknya juga menemukan opini bahwa mayoritas publik tidak setuju atau sangat tidak setuju Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya.
"62 tidak setuju atau sangat tidak setuju Jokowi kembali menjadi calon presiden, yang setuju atau sangat setuju jumlahnya lebih sedikit, 34 persen, dan yang tidak menjawab 4 persen," tuturnya.
Survei diketahui memiliki margin of error survei yang diperkirakan sebesar ± 3,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dalam survei ini, SMRC melakukan wawancara lapangan pada 15 hingga 21 September 2021.
(mts/ain)