Tolak Nama Jalan, PKS Ungkap Beda Ataturk dengan Sukarno

CNN Indonesia
Kamis, 21 Okt 2021 10:06 WIB
Politikus PKS Hidayat Nur Wahid menjelaskan beda antara Mustafa Kemal Ataturk dan Sukarno. (Foto: ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menolak penyematan nama tokoh Turki Mustafa Kemal Ataturk menjadi nama jalan di Jakarta meski dengan alasan etika diplomatik.

Pasalnya, dua tokoh pendiri kedua bangsa, yakni Ataturk dan Sukarno, yang juga bakal menjadi nama jalan di Turki, memiliki rekam jejak berseberangan dalam hal ideologi.

"Menolak wacana penyematan nama tokoh anti demokrasi, islamophobia, dan bapak sekulerisme Turki; Mustafa Kemal Attaturk, menjadi nama jalan di Jakarta," kata Hidayat, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (21/10).

Sebelumnya, pemerintah Turki sepakat memberi nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama Ahmet Soekarno. Hal itu dilakukan sebagai simbol kedekatan kedua negara yang sudah dimulai sejak abad ke-15.

Duta Besar Republik Indonesia di Ankara Lalu Muhammad Iqbal mengungkapkan rencana pemberian nama jalan Ataturk di Jakarta sebagai tata krama diplomatik.

Menurut Hidayat, kedua tokoh ini, meski sama-sama bergelar Bapak Bangsa bagi masing-masing negara, memiliki perbedaan mencolok.

Sukarno, katanya, tidak pernah memotong akar sejarah Bangsa Indonesia atau memaksakan ideologi impor. Selain itu, Sukarno juga tidak pernah menjadikan Indonesia menjadi negara sekuler.

"Beliau hadirkan Pancasila sebagai ideologi negara yang digali dari budaya dan sejarah Indonesia. Karenanya dalam Pancasila ada Ketuhanan YME. Bung Karno juga tidak anti Islam/Arab, apalagi melarang bacaan sholat dan adzan pakai bahasa Arab dan mengubahnya pakai bahasa Indonesia," kata Hidayat.

Sementara, ia menilai Mustafa Kemal lebih mengedepankan sekuler liberal dan antidemokrasi yang tak sesuai dengan Pancasila.

"Kalaupun Kemal Ataturk, dengan Kemalismenya yang sekuler liberal dan anti demokrasi itu dinilai banyak jasanya pada sejarah Turki modern, ya itu adalah untuk Turki," ungkap dia.

"Tapi tidak untuk Indonesia, karena Kemalisme (ajaran Ataturk) itu tidak sesuai dengan Pancasila dan warisan kenegarawanan Bung Karno, yang demokratis, menghormati agama dan tidak sekuler liberal," dia menambahkan.

Kendati begitu, Hidayat, yang juga merupakan Wakil Ketua MPR ini, menilai tata krama diplomatik bisa dilakukan dengan tanpa menyematkan nama Mustafa Kemal Ataturk. Menurutnya, masih banyak tokoh Turki yang layak menjadi nama jalan di Indonesia.

Infografis Nama Jalan di Luar Negeri Terinspirasi Tokoh Indonesia. (Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian)

"Semua pihak di Indonesia mendukung penguatan hubungan RI dengan Turki. Tetapi masih banyak nama-nama tokoh Turki yang terhormat dan tidak kontroversial, dan diterima Umat Islam di Indonesia," papar dia.

"Yaitu nama-nama tokoh Turki yang tidak kontroversial dan yang bisa hadirkan penguatan hubungan karena nama-nama itu begitu harum diterima masyarakat luas di Indonesia seperti Sultan Muhammad al Fatih atau tokoh Sufi Jalaludin ar Rumi," ujarnya.

Selain PKS, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas juga menolak penyematan nama Ataturk karena pemikirannya yang "sesat dan menyesatkan".

Di pihak lain, Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Syamsul Maarif menganggap penolakan itu sebagai hal yang "lebay".

"Nah itu lebay menurut saya. MUI dan PKS itu lebay. Memandangnya parsial saja," kata dia, Senin (18/10).

"Tapi bahwa Kemal Ataturk bagian dari tokoh di Turki, Bapak pendiri Turki, ya sudah kita harus hormati. Tanpa melihat apakah Kemal liberal atau sekuler itu urusan lain," urainya.

(dmi/arh)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK