Jakarta, CNN Indonesia --
Pagi di bulan Oktober, kapal-kapal nelayan masih bersandar di dermaga Pelabuhan Teluk Baruk, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Para pemiliknya sibuk mempersiapkan berbagai kebutuhan melaut.
Satu per satu dimasukkan ke dalam perahu, mulai dari es batu untuk pendingin ikan yang ditangkap di tengah laut, solar, hingga kebutuhan makan untuk berlayar.
Nelayan-nelayan di sini tak pergi sendiri. Untuk kapal berukuran di atas 3 Gross Tonnage (GT) minimal mengangkut dua orang awak. Mereka yang berlayar sendiri biasanya tak jauh dari bibir pantai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu melautnya pun berbeda-beda. Ada yang seharian, pergi pagi pulang petang. Tak sedikit pula yang pergi tiga sampai tujuh hari, hingga lebih dari 10 hari.
Misalnya saja Rustam (47) dan Ridwan (60). Ketika CNN Indonesia menemuinya pekan lalu, ia hendak berlayar untuk lima hari ke depan. Rustam bertindak sebagai tekong alias kapten kapal, sementara Ridwan selaku ABK.
Rustam dari usia 20 tahun sudah menjadi nelayan. Awalnya, ia ikut di pompong atau kapal rekannya. Kini Rustam sudah punya kapal sendiri. Ia membeli dari kawannya sebesar Rp50 juta.
Kapal milik Rustam berukuran sekitar 2,5 GT. Daya jelajah kapal miliknya mencapai 80 sampai 90 mil (130-145 kilometer) saat cuaca mendukung. Namun, ketika musim angin datang ia hanya berlayar di sekitar Pulau Bunguran.
 Rustam (47), salah satu nelayan di Pelabuhan Teluk Baruk, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Hari itu Rustam akan membawa kapalnya sampai ke Pulau Laut yang berada di utara Kota Ranai. Ia berlayar menempuh jarak sekitar 20 mil (32 km) hingga ke dekat garis depan perbatasan.
Untuk berlayar lima hari, Rustam mengeluarkan uang Rp1.000.000. Untuk membeli solar Rp500 ribu, es batu Rp200 ribu, perbekalan makan, termasuk rokok sekitar Rp300 ribu.
Rustam mengeluhkan dalam beberapa tahun terakhir pengeluaran sebesar itu mulai tak sebanding dengan penghasilannya. Pendapatannya minim sejak ikan di laut Natuna menipis. Ditambah pandemi Covid-19 yang membuat nilai ikan merosot tajam.
"Dari tiga tahun yang lewat lah ikan mulai berkurang. Tahun-tahun 2016 mudah cari ikan, cari-cari (ikan) tongkol di belakang Pulau Senua (sekitar 3,2 km dari Bunguran) sudah dapat. Sekarang udah payah," kata Rustam.
Rustam menduga berkurangnya ikan-ikan juga dipengaruhi kehadiran kapal-kapal lengkong pukat dan cantrang di sekitar perairan nelayan lokal.
 Ridwan (60), salah satu nelayan di Pelabuhan Teluk Baruk, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Rustam mengaku nilai jual ikan kini sudah mulai membaik. Dia bisa mengantongi uang sekitar Rp6 juta dalam setiap kali jalan selama lima hari. Selain dibagi sesuai perhitungan bersama rekannya, Rustam juga menyisihkan uang itu untuk membayar cicilan kapal.
Kebanyakan nelayan Natuna seperti Rustam masih menggunakan pancing ulur yang memiliki banyak mata kail, tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.
"Umumnya nelayan di sini pancing ulur semua, enggak ada yang pakai jaring, enggak ada yang pakai bubu, nelayan ulur semua," ujarnya.
Rustam pun berharap pemerintah pusat maupun daerah bisa membantu para nelayan tradisional agar bisa maksimal memanfaatkan kekayaan sumber daya ikan di laut Natuna.
Zona Penangkapan Terukur
Perairan Natuna masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711, yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan.
Potensi tangkapan perairan WPPNRI 711 mencapai 767.126 ton, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/KEPMEN-KP/2017.
Kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan program dan payung hukum penangkapan terukur yang direncanakan berjalan pada awal 2022.
Dengan kebijakan ini, pemerintah akan mengatur kuota serta zonasi tangkapan, disesuaikan dengan karakteristik dan peruntukan. Tujuannya untuk menggerakkan ekonomi daerah yang merata hingga menjaga kelestarian ikan di perairan tersebut.
Soal zonasi wilayah, pemerintah akan membagi tiga, yaitu zona penangkapan industri, zona nelayan lokal, serta zona tempat pemijahan, pembibitan, atau tempat biota laut berkembang biak (spawning ground).
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini mengatakan rencana penangkapan ikan terukur bakal diterapkan di seluruh WPPNRI.
 Suasana siang menjelang sore di pelabuhan Teluk Baruk, Kecamatan Bunguran Timur, Ranai, Kabupaten Natuna. (CNN Indonesia/Hamka Winovan) |
Sementara itu sistem kuota tangkapan akan diterapkan di zona penangkapan industri, baik penangkapan ikan untuk nelayan tradisional, kelompok industri, dan kegiatan hobi memancing atau wisata.
Penentuan kuota tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Zona penangkapan untuk industri antara lain berada di WPPNRI 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan), WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik).
Kemudian WPPNRI 718 (Perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur) dan WPPNRI 715 (Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau), serta WPPNRI 572 (Perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda) dan WPPNRI 573 (Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.
Sementara zona reguler atau nelayan lokal berada di tiga WPPNRI, antara lain WPPNRI 571 (Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman), WPPNRI 712 (Perairan Laut Jawa), dan WPPNRI 713 (Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).
"Kenapa itu tidak dijadikan industri? Karena di sekitar ini nelayan sudah banyak. Sehingga ini regular, seperti sekarang ini saja," kata Zaini beberapa waktu lalu di kantornya.
Terakhir, zona spawning ground ditetapkan di WPPNRI 714. Pemerintah melarang penangkapan ikan di perairan yang meliputi Teluk Tolo dan Laut Banda tersebut, kecuali untuk nelayan kecil yang memiliki KTP daerah setempat.
Menurutnya, perairan antara Sulawesi dan Maluku itu menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis ikan, sehingga tak boleh ada penangkapan ikan besar-besaran di sana.
"Ikan tuna dan beberapa jenis ikan (lain) bertelor di sana, memijah di sana atau kawin di sana. Kalau misal ini diganggu, maka bukan hanya perairan 714 yang rusak, tapi perairan yang lain juga rusak. Ini pusat pemijahan. Nah, ini konsep penangkapan terukur itu," ujarnya.
"Penangkapan terukur ini juga terukur kelestarian lingkungannya. Karena itu dipastikan ketika (ikannya) diambil tidak akan melebihi kuota atau potensi yang ada di wilayah itu," kata Zaini menambahkan.
 Sejumlah kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Teluk Baruk, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Sabtu (16/10).(CNNIndonesia/ Feri Agus) |
Kontrak di Zona Industri
Lebih lanjut, Zaini mengatakan pihaknya bakal menerapkan sistem kontrak di zona penangkapan industri dengan sejumlah syarat. Ia menyebut sistem kontrak ini akan memudahkan investor menghitung nilai tangkapnya.
Kontrak ini tak bisa terputus di tengah jalan dan juga tercantum kewajiban untuk menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kemudian, hasil tangkapan ikan wajib didaratkan di daerah yang bersangkutan.
Zaini tak ingin daerah yang memiliki potensi ikan tak mendapat manfaat sama sekali. Menurutnya, jika ikan didaratkan di pelabuhan sekitar wilayah penangkapan, roda ekonomi di daerah tersebut akan bergerak.
Pemerintah juga berjanji akan meningkatkan infrastruktur pelabuhan perikanan di wilayah tangkap zona industri tersebut. Ia mengatakan pelabuhan-pelabuhan ini akan memiliki fasilitas utama untuk pendaratan ikan dan juga mengirim produk ikan secara langsung.
"Kita tentukan pelabuhannya, misal ada lima pelabuhan di daerah itu, kita hitung potensi pendaratan di pelabuhan itu masing-masing berapa. Sehingga industri yang berdiri di sana bisa dipastikan akan terpenuhi bahan bakunya," katanya.
 Suasana siang menjelang sore di pelabuhan Teluk Baruk, Kecamatan Bunguran Timur, Ranai, Kabupaten Natuna. (CNN Indonesia/Hamka Winovan) |
Investasi Kapal Besar di Natuna
Zaini melanjutkan pihaknya juga membuka pintu bagi investor yang hendak menangkap ikan di empat zona industri tersebut, termasuk perairan Natuna yang masuk dalam WPPNRI 711.
Namun, pemerintah tetap membatasi jumlah tangkapan ikan di masing-masing wilayah sesuai dengan potensinya. Para investor juga wajib mengikuti aturan main pemerintah.
Untuk di perairan utara Natuna, Zaini akan mengundang investor kapal-kapal besar agar bisa bersaing dengan nelayan dari negara lain, seperti Vietnam yang kerap masuk wilayah ZEE Indonesia. Ia tidak ingin ikan-ikan di Laut Natuna Utara justru tak bisa dimanfaatkan nelayan sendiri.
"Saya akan undang investasi kapal-kapal besar yang akan kita gunakan di daerah-daerah ini (perairan Natuna) sehingga bisa bersaing dengan kapal-kapal Vietnam. Karena kalau kapal-kapal kecil enggak bisa," ujarnya.
Zaini memastikan keberadaan kapal-kapal besar di zona industri, termasuk Natuna, tak akan menggusur nelayan tradisional. Rustam, dan nelayan-nelayan tradisional Natuna tetap bisa mengambil ikan lantaran sudah mendapat kuota sendiri. Tak lagi berebut dengan mereka yang bermodal besar.
Selain itu, kata Zaini, nelayan-nelayan kecil juga bisa ikut di kapal-kapal besar punya investor baru tersebut. Mereka akan mengikuti pelatihan terlebih dahulu agar bisa diterima.
Menurutnya, beberapa investor sudah mengajukan izin menangkap di perairan Natuna dan dipastikan wajib mengikuti aturan yang berlaku. Ia tak ingin terulang insiden nelayan dari luar Natuna tak mematuhi aturan sehingga kerap bersitegang dengan nelayan lokal.
Zaini mengatakan telah membuat ketentuan baru, yakni kapal besar dari luar Natuna wajib berlayar di atas 30 mil (48 km) dari pulau terluar. Ia berjanji akan menindak kapal-kapal besar yang masih bandel dan mencari ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional.
"Dia (kapal-kapal besar) hanya boleh di atas. Kalau ketahuan langsung cabut izinnya. Investor kan mampu, dia seharusnya lebih taat aturan," ujarnya.
Di sisi lain, Zaini menyatakan pihaknya juga akan meningkatkan pengawasan untuk mencegah pelanggaran penangkapan ikan dan takkan ragu memberikan sanksi berupa denda besar.
Ia bakal bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta instansi terkait lain.
"Sehingga nanti dari PNBP bisa memberdayakan nelayan kecil. Jalur itu sudah kita atur sedemikian rupa, supaya yang besar tidak menindas ke yang kecil," katanya.
 Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian Infografis Potensi Ekonomi di Perairan Natuna yang Jadi Rebutan RI-China |
Ditjen PSDKP mencatat terdapat 140 kapal melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF) ditangkap sepanjang Januari hingga September 2021.
Rinciannya 17 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina, 25 kapal berbendera Vietnam, serta 92 kapal berbendera Indonesia. Kapal-kapal berbendera Indonesia ini diamankan karena tak memiliki izin penangkapan di wilayah Natuna.
Bupati Natuna Wan Siswandi mendukung rencana program penangkapan terukur ini. Ia mendorong pemerintah pusat agar memaksimalkan keberadaan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna, di Selat Lampa.
"Jadi pemda maunya ya jalan saja, karena memang itu akan dia (pemda) kelola. Nelayan sini kan bisa jualan di situ, kalau nelayan luar kan bisa jadikan itu tempat pelelangan ikan," kata Siswandi kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"Jadi nelayan (luar Natuna) enggak bawa pulang, kalau dibawa pun ya ditimbang dulu di tempat pelelangan ikan. Jadi pemda dapat retribusinya. Kalau enggak gitu enggak dapat apa-apa," ujarnya.