KSAU Ungkap Gap Anggaran Pertahanan Udara RI dan AS

CNN Indonesia
Senin, 25 Okt 2021 21:18 WIB
KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo mencanangkan transformasi kekuatan udara yang diusung dalam Plan Bobcat fokus pada organisasi, teknologi, dan kesiapan operasi.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan kekuatan pertahanan udara (air power) Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. (Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan kekuatan pertahanan udara (air power) Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain.

Fadjar menyebut anggaran pertahanan udara RI saat ini baru sekitar US$9 miliar. Hal ini, kata dia, jauh bila dibandingkan dengan anggaran enam negara yang memiliki kekuatan pertahanan udara yang terbilang maju dan kuat, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Australia, Rusia, India, dan China.

Menurutnya, anggaran pertahanan udara enam negara itu mencapai US$30 miliar per tahun, bahkan AS mencapai US$700 miliar. Kekuatan pertahanan mereka pun jauh lebih maju dari TNI AU.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sedangkan Indonesia saat ini masih di kisaran US$8 hingga 9 miliar per tahun," kata Fadjar saat peluncuran bukunya, Plan Bobcat yang disiarkan secara live di Youtube Airmen Dispen AU, Senin (25/10).

"Perlu effort yang sangat besar untuk mengejar ketertinggalan apalagi dengan anggaran yang sangat terbatas dan industri pertahanan yang cukup tertinggal," ujarnya menambahkan.

Fadjar mengatakan situasi geopolitik saat ini juga berbeda. Terlebih setelah AS, Australia, dan Inggris membentuk pakta pertahanan AUKUS. Pakta pertahanan ini dinilai untuk membendung China di Laut China Selatan.

"Pakta keamanan trilateral ini dikhawatirkan dapat meningkatkan ketegangan militer dan bahkan dapat mendorong ajang perlombaan senjata-senjata nuklir di kawasan," ujarnya.

Dalam bukunya Plan Bobcat, Fadjar mengkategorikan perkembangan teori kekuatan udara menjadi tiga generasi. Pada generasi pertama, kata Fadjar, teori air power menekankan pada taktis pertempuran di dan dari udara. Hal ini seperti pemboman dari udara.

Pada generasi tersebut, salah satu tokoh air force, Alexander P. de Seversky, salah satu tentara Rusia yang ikut serta dalam Perang Dunia I, mengingatkan bahwa penerbangan militer asing menjadi sumber ancaman utama.

"Sehingga negara harus membangun air power yang super-riil untuk menangkalnya," kata Fadjar.

Sementara, pada generasi kedua, teori air power yang digagas Kolonel John A. Warden mencetuskan konsep yang mengidentifikasi elemen penting suatu negara sebagai sasaran utama serangan militer guna memenangkan perang. Adapun teori generasi ketiga, air power suatu negara bergantung pada relevansi kemampuan terhadap strategi negara itu.

"Konsep Plan Bobcat ini dirumuskan berdasarkan teori air power generasi ketiga," kata Fadjar.

Bertolak beberapa faktor di atas, Fadjar mencanangkan transformasi kekuatan udara yang diusung dalam Plan Bobcat fokus pada tiga hal, yakni, organisasi, teknologi, dan kesiapan operasi.

Organisasi, kata dia, harus bersifat adaptif, efektif, dan tetap efisien. Pada sisi teknologi, kapabilitas TNI AU akan difokuskan pada empat peran dasar kekuatan udara, yakni penguasaan udara, serangan udara pengamatan, pengintaian, dan mobilisasi udara.

"Untuk peran serangan udara TNI AU harus mengakuisisi multi roll fighter generasi 4,5 ke atas yang interoperable dan dilengkapi persenjataan presisi," tuturnya.

Waspada Tahun Kritis 2035

Sementara, Pengamat pertahanan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Kusnanto Anggoro mengingatkan periode 2025-2045 menjadi perhatian penting pemerintah Indonesia. Menurutnya, ada sejumlah peristiwa penting pada periode tersebut yang sangat berdampak terhadap dinamika keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Pada 2034, kata Kusnanto, akan terjadi perubahan politik yang luar biasa di Tiongkok.

"Xi Jinping masih 2029, penggantinya itu hanya berlangsung selama 5 tahun pasti akan menimbulkan persoalan pada 2033," ujar Kusnanto.

Pada 2034, terdapat pemilihan presiden AS. Ia memprediksi 2033-2036 akan menjadi masa kritis Asia Tenggara.

Selanjutnya, 2036 merupakan tahun pertama ketika anggaran pertahanan China melebihi AS. Perubahan-perubahan besar di kedua negara itu akan mewarnai pertengahan dekade 2030.

"Itu merupakan persoalan-persoalan yang sangat critical pada pertengahan dasawarsa 2030," katanya.

(iam/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER