Pelecehan Seksual di Kampus, Nadiem Atur Pemecatan Mahasiswa dan Dosen

CNN Indonesia
Rabu, 27 Okt 2021 16:40 WIB
Lewat Permendikbud, pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus terancam sanksi ringan, misalnya pencabutan beasiswa, hingga sanksi berat seperti pemecatan.
Ilustrasi pelecehan seksual. (Foto: Istockphoto/KatarzynaBialasiewicz)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi akan dijerat sanksi administratif ringan, seperti pencabutan beasiswa, hingga berat, misalnya pemecatan dari lingkungan kampus.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Aturan yang diteken Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu berlaku mulai 3 September 2021.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengenaan sanksi administratif itu merupakan salah satu kewajiban Perguruan Tinggi dalam penanganan kekerasan seksual yang tercantum dalam Pasal 10 Permendikbud tersebut. Kewajiban kampus lainnya adalah pendampingan, pelindungan, dan pemulihan Korban.

Pasal 14 kemudian merinci jenis sanksinya. Pertama, sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis atau permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.

Kedua, sanksi administratif sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan, atau pengurangan hak sebagai mahasiswa.

Hak-hak mahasiswa pelaku kekerasan seksual yang dikurangi itu antara lain penundaan mengikuti perkuliahan (skors), pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain.

Setelah menyelesaikan sanksi administratif ringan dan sedang, pelaku kekerasan seksual wajib melakukan program konseling pada lembaga yang ditunjuk. Laporan konseling itu yang nantinya akan menjadi dasar untuk pemimpin perguruan tinggi menerbitkan surat bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi.

Ketiga, sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus.

Penerapan sanksi administratif itu sendiri mesti didahului oleh rekomendasi dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kampus, sebelum kemudian ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi.

"Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan Kekerasan Seksual," demikian tercantum dalam Pasal 13 ayat (1).

Terlepas dari itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16, pimpinan perguruan tinggi bisa menjatuhkan sanksi lebih berat dari yang direkomendasikan oleh Satgas dengan sejumlah syarat.

Yakni, korban merupakan penyandang disabilitas, dampak Kekerasan seksual yang dialami korban, dan/atau terlapor atau pelaku merupakan anggota Satuan Tugas, kepala/ketua program studi, atau ketua jurusan.

Aturan yang juga diadvokasi oleh berbagai kelompok masyarakat ini juga mengatur 21 bentuk kekerasan seksual, mulai dari kekerasan secara verbal, fisik/nonfisik, hingga memakai media teknologi dan informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2).

Meski mengecualikan selama ada persetujuan alias consent, Permendikbud ini menggarisbawahi sejumlah kondisi. Di antara, tidak dalam pengaruh obat-obatan, tidak mengalami kelumpuhan sementara, dan tidak dalam kondisi dalam tekanan kekuasaan.

"Mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya," tulis Pasal 5 ayat (3) huruf b.

Infografis Ragam Laku Pelecehan SeksualInfografis Ragam Laku Pelecehan Seksual. (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)

Diketahui, sejumlah kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan perguruan tinggi, terutama yang menggunakan kuasa, mencuat beberapa tahun terakhir.

Misalnya, Januari 2020, mahasiswa Universitas Padang melaporkan kasus kekerasan seksual ke Polda Sumbar dengan terlapor dosennya.

Pada April 2021, seorang Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (Unej) berinisial RH ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap keponakannya sendiri yang merupakan mahasiswa kampus tersebut.

Selain itu, Rektor Universitas PGRI Argopuro (Unipar) Jember berinisial RS mengakui telah melakukan pelecehan seksual pada seorang dosen wanita berinisial HI di sebuah hotel di Pasuruan dalam sebuah acara diklat. Ia lantas mengundurkan diri lantaran permintaan pihak yayasan.

Pada Agustus 2020, mencuat kasus pelecehan seksual oleh Dosen berkecenderungan seksual bertukar pasangan alias swinger di Yogyakarta dengan korban puluhan orang dengan modus penelitian.

Di samping itu, ada kasus pelecehan seksual mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) oleh rekannya saat kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, 2017. Kasus itu mencuat pada pertengahan 2018 setelah majalah kampus mengangkat peristiwa tersebut.

(cfd/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER