Civil Society Watch (CSW) mengecam penolakan yang dilakukan oleh Ormas Islam dan Muhammadiyah terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nadiem Makarim tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
CSW mengungkapkan tuntutan Ormas Islam dan Muhammadiyah agar Permendikbud dicabut berpotensi membiarkan kelompok rentan di kampus menjadi korban predator seksual.
"Ormas Islam dan Muhammadiyah membiarkan kaum perempuan di kampus-kampus Indonesia berpotensi menjadi korban predator seksual tanpa perlindungan, pendampingan, dan pemulihan," tutur Communication Staff CSW, Rizka Putri Abner melalui keterangan tertulis, Rabu (10/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, tanpa perlindungan di tingkat peraturan, posisi korban jadi sangat rentan. Lebih jauh, tindakan penolakan yang dilakukan oleh Ormas Islam dan Muhammadiyah dapat membuat predator seksual di kampus-kampus merajalela.
Pasalnya, lingkungan kampus bukan merupakan tempat yang steril dari kasus kekerasan seksual. Terbukti dari berbagai kasus yang mencuat beberapa waktu terakhir.
CSW memandang, melalui Permendikbud ini pemerintah dapat memaksa perguruan tinggi menjalankan mekanisme pencegahan kekerasan seksual. Termasuk, memastikan kampus menindak tegas pelaku kekerasan seksual.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah Sjaifudian, meminta Permendikbudristek Nadiem itu direvisi.
"Golkar menyarankan agar pengaturan dalam Permendikbudristek Nomor 30/2021 direvisi dan disosialisasikan dengan lebih baik untuk mencegah multitafsir," kata Hetifah, Kamis (11/11).
Ia menyayangkan polemik yang muncul terhadap Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi karena perbedaan persepsi saat ini. Hetifah berharap, polemik yang terjadi tidak menghambat langkah pembenahan kampus menjadi tempat yang aman dan kondusif.
Herifah juga menyampaikan, Golkar tidak mungkin menerima aturan yang bertujuan melegalkan seks bebas di lembaga pendidikan.
Untuk pelaku kekerasan seksual, Hetifah menyarankan agar dikenakan hukuman ganda baik dalam konteks aturan terhadap kekerasan seksual dan tindak asusila. Dia juga mengimbau agar setiap kampus tetap amanah dan fokus dalam upayanya memberantas kekerasan seksual.
Sebelumnya, Nadiem mengatakan, peraturan itu diterbitkan oleh pihaknya untuk menjawab keresahan civitas akademika kampus, khususnya para mahasiswa karena regulasi yang melindungi korban dari tindakan kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak ada.
Tapi kritik datang dari Ormas Muhammadiyah yang menilai aturan tersebut memiliki masalah dari sisi formil dan materiil. Salah satunya, karena adanya pasal yang dianggap bermakna legalisasi seks bebas di kampus.
Penolakan juga datang dari Majelis Ormas Islam yang meminta agar Permendikbud tersebut dicabut karena secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan. Nadiem pun didesak mencabut Permendikbud tersebut. Kemendikbudristek sendiri telah membantah keras penafsiran tersebut.