Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai polemik. Aturan tersebut dinilai dapat melegalkan perzinaan dan seks bebas di lingkungan kampus.
Sorotan itu muncul karena pasal 5 dalam Permedikbudristek tersebut dinilai multitafsir, dan bisa dimaknai legalisasi terhadap perbuatan asusila atau seks bebas berbasis persetujuan (consent).
Diterjang kritik, Kemendikbudristek justru membantah telah membuat aturan yang melegalkan perzinaan. Bantahan yang mendapat 'bala bantuan' pula dari Kementerian Agama yang memang membawahi unit-unit pendidikan berbagai tingkat yang berbasis agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah 'pencegahan', bukan 'pelegalan'," kata Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam dalam keterangannya.
Ia menyatakan aturan yang disusun tim di bawah Mendikbudristek Nadiem Makarim itu sejatinya bertujuan sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ada di luar kampus.
Ada yang kontra, ada pula yang pro terhadap permendikbud itu, terutama dari kalangan kelompok aktivis perempuan yang memang terus menggaungkan pencegahan kekerasan seksual apapun bentuknya dan di manapun tempatnya, termasuk lingkungan pendidikan.
Namun apakah Permendikbud tersebut dibutuhkan untuk menghapus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan?
"Kenapa Permendikbud itu dibutuhkan banget karena kasus kekerasan seksual itu tinggi di Indonesia, dan kasus di institusi pendidikan tinggi itu tinggi sekali, yang sekarang ketahuan publik hanya puncak dari gunung es," kata aktivis perempuan Devi Asmarani saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/11).
Menurut Devi dibutuhkan aturan hukum untuk mencegah kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Menurutnya, kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus seringkali terjadi karena ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, hingga senior terhadap junior, dan lainnya.
![]() |
Devi menerangkan Relasi Kuasa itu sering kali membuat seorang mahasiswa menjadi kelompok rentan kasus kekerasan seksual karena memiliki struktur sosial yang paling rendah di lingkungan kampus.
"Perlu mengajak mahasiswa juga di lingkungan kampus, mereka yang paling rentan, mereka harus diajak dan diberdayakan. Jadi mereka tahu hak mereka apa saja," ucapnya.
Selain itu, Devi juga menyinggung tingginya angka kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya. Menurut catatan kekerasan seksual milik Komnas Perempuan tahun 2015-2020 sebanyak 27 persen aduan yang masuk merupakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga Pendidikan Tinggi.
Survei Ditjen Dikti Ristek 2020, mencatat 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63 persen mahasiswa tidak melaporkan kasus yang diketahuinya pada pihak kampus.
Devi menduga masih banyak terjadi kekerasan seksual yang tidak terlapor karena tidak ada aturan yang jelas untuk menangani kasus tersebut. Sehingga Permendikbud 30/2021 tersebut dibutuhkan untuk menjadi pedoman bagi pihak kampus maupun mahasiswa untuk terhindari dari perbuatan kekerasan seksual.
"Banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan Tinggi itu 'terkubur' begitu saja demi nama baik kampus, makanya saya pikir dengan Permendikbud ini ada aturan, SOP, yang jelas untuk mencegah dan menangani terjadinya kasus kekerasan seksual," ujar Devi.
Dukungan pada Permendikbud itu juga muncul dari Sekjen Koalisi Perempuan Mike Verawati. Menurutnya dengan dibuat aturan yang rinci setiap orang bisa tahu batasan akan perbuatan dan kondisi apa saja yang memungkinkan kekerasan seksual terjadi sehingga bisa dihindari.
Terutama dalam lingkungan kampus mahasiswa memiliki struktur sosial terendah sehingga rentan akan kekerasan seksual. Hubungan relasi kuasa antar dosen dan mahasiswa dinilai amat memungkinkan terjadinya kekerasan seksual.
"Jadi dengan ada aturan yang rinci, orang-orang tahu bagaimana dan kondisi apa saja yang memungkinan kekerasan seksual terjadi sehingga itu bisa dihindari," tuturnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...