ANALISIS

Mampukah 'Serangan Darat' Optimalkan Kepak Sayap Puan ke Publik?

CNN Indonesia
Selasa, 16 Nov 2021 06:14 WIB
Berdasarkan survey Indikator yang dirilis Agustus lalu, strategi baliho 'Kepak Sayap Kebhinekaan' Puan Maharani belum mampu mendongkrak elektabilitas.
Baliho bergambar Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani sempat ramai di sudut-sudut jalanan di Indonesia meskipun pemilu 2024 masih jauh. (CNNIndonesia/Adi Maulana Ibrahim)

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menyebut Puan saat ini telah mati gaya sejak mantan Menteri Sosial (Mensos) dari PDIP Juliari Peter Batubara tersandung kasus korupsi dan disebut-sebut terkait dengan anggota DPR.

Menurutnya Puan sebagai Ketua DPR dari partai berlambang banteng itu seperti terjebak dalam kerangkeng. Berbagai upaya lantas dilakukan Puan untuk mendongkrak elektabilitasnya, salah satunya melalui baliho yang masif di sudut-sudut jalan.

"Tetapi gagal menderek elektabilitasnya, sehingga memilih jalan politik simulacra dengan cara nanam padi di tengah hujan yang justru kemudian menuai cibiran publik," jelas Ubed.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai informasi, simulacra adalah sebuah terminologi yang salah satunya digambarkan sosiolog politik asal Prancis, Jean Baudrillard dalam buku Simulacra and Simulation (1981). Dalam buku itu Baudrillard menulis simulacra seabgai sebuah realitas semu, di mana manusia hidup dalam dunia yang penuh simulasi alias tak ada yang asli atau nyata di luar itu.

Terkait dengan polah Puan, seperti Ujang, Ubed pun memandang aksi blusukan hari ini sudah kuno. Sebab, menurutnya, rezim yang di mula dikenal publik karena rajin melakukan blusukan pun gagal menunjukkan kinerjanya untuk rakyat.

Menurut Ubed, dalam waktu ke depan kapasitas dan kualitas diri seorang politisi yang akan menentukan dan memengaruhi elektabilitasnya.

"Kini blusukan sudah menjadi gaya kuno yang menjijikan karena kegagalan rezim blusukan dalam menunjukkan kinerjanya. Apalagi blusukannya tidak kreatif dan bukan sesuatu yang baru," ujar Ubed.

Jejak Ketua DPR yang Tak Bisa Diperhalus Citra

Ujang Komarudin menilai blusukan yang dilakukan Puan, bahkan dengan hujan-hujanan di tengah sawah, tidak membuat karakter kebijakannya yang elitis sebagai Ketua DPR menjadi prorakyat.

Selama menjadi Ketua DPR, lembaga legislatif itu menerbitkan atau merencanakan beberapa undang-undang yang kontroversial dan didemo ribuan orang. Hukum itu antara lain UU KPK baru, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, dan UU Minerba.

"Yang dilakukan Puan hari ini kan tidak mengembalikan karakternya, karakter kebijakannya yang elitis, yang tidak prorakyat," tutur Ujang.

Ujang berpendapat salah satu faktor yang menyebabkan elektabilitas Puan hingga hari ini masih saja rendah adalah karena kebijakan-kebijakannya dianggap tidak pro rakyat.

Oleh karena itu, Puan berupaya mengubah stigma itu. Namun, menurut Ujang, upaya Puan mengubah stigma masyarakat terhadapnya tidak hanya dengan blusukan, melainkan dengan membuat kebijakan besar yang menguntungkan rakyat.

"Hal ini kan nggak ada. Nol. Ini yang membuat rakyat menjadi paham terkait persoalan pencitraan itu," ujarnya.

Menurut Ujang, stigma terhadap Puan yang tidak pro rakyat ini menjadi tantangan bagi Puan. Karenanya, ia harus membuat terobosan kebijakan yang pro rakyat, alih-alih hanya turun ke sawah yang justru mengundang banyak kritik.

"Harus membuat kebijakan terobosan yang pro dengan rakyat itu yang paling penting," ujarnya.

Sementara, Ubedilah Badrun memandang 'serangan darat' Puan ini sangat tidak efektif. Apalagi aksi itu dilakukan Puan di tengah rasa ketidakpercayaan publik yang begitu tinggi kepada DPR.

Secara strategi, menurut Ubed, aksi Puan juga tidak kreatif di tengah perkembangan teknologi digital yang semakin maju.

"Cara-cara seperti itu tentu sangat tidak efektif apalagi di tengah ketidakpercayaan publik yang sangat tinggi pada DPR," kata Ubed.

(iam/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER