Jakarta, CNN Indonesia --
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah Indonesia segera mengeluarkan kebijakan korektif ketimbang fokus pada perbaikan omnibus law Undang Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Pasalnya, langkah itu dianggap lebih sejalan dengan mandat UUD 1945.
Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi menyampaikan, mandat yang dimaksud yaitu pengelolaan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Hal itu Zenzi sampaikan merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat. Pembuat undang-undang--pemerintah dan DPR--diminta memperbaiki aturan tersebut dengan tenggat waktu dua tahun. Jika tak dilakukan, putusan MK menyatakan undang-undang itu akan inkonstitusional permanen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta Pemerintah untuk secepatnya melaksanakan amanah UUD 1945 terutama yang terkait dengan pengelolaan SDA bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Caranya, dengan membuat langkah-langkah kebijakan korektif," kata Zenzi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/11).
Zenzi menjelaskan, kebijakan korektif dapat diterapkan dalam bentuk audit lingkungan hidup, melakukan review perizinan, dan penegakan hukum.
"[Bisa diterapkan dalam bentuk] moratorium perizinan perkebunan sawit, moratorium perizinan tambang, moratorium perizinan reklamasi di kawasan pesisir, dan moratorium hak pengusaha hutan korporasi," lanjutnya.
Sejalan dengan putusan MK yang menyebut UU Ciptaker cacat formil, Zenzi menyatakan pemerintah harus menghentikan seluruh proyek yang merampas ruang hidup rakyat dalam berbagai bentuk proyek strategis. Pasalnya, tegas dia, UU Ciptaker terbukti cacat secara hukum. Sehingga, klaim pemerintah UU tersebut dapat mendatangkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lewat proyek strategis salah besar.
Zenzi menyebut, UU Ciptaker justru hanya akan membuat lingkungan rusak. Salah satu imbasnya, banyak bencana ekologis bermunculan.
"Investasi yang didorong oleh UU Cipta Kerja terbukti makin memperburuk krisis lingkungan hidup dan melahirkan berbagai bentuk bencana ekologis, melanggengkan kemiskinan, merampas hak-hak kaum buruh, serta semakin memperkaya oligarki," ujarnya.
Sebelumnya, MK mengeluarkan Putusan terhadap Perkara Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU-XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 4/PUU-XIX/2021, serta Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas Uji Formil dan Uji Materil Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Kamis (25/11).
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 tapi dengan syarat.
Majelis Hakim MK berpendapat dalam proses pembentukannya, UU Cipta Kerja minim partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan sangat fundamental dan sangat bermakna (meaningful).
Majelis Hakim MK juga menegaskan kepada Pemerintah dan DPR, tidak dibenarkan membentuk peraturan yang baru, termasuk tidak dibenarkan mengambil keputusan yang dilandasi dengan undang-undang yang diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2 November 2020. MK memberikan waktu selama dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, jika tidak akan menjadi inkonstitusional permanen.
Buka halaman selanjutnya...
Sebelumnya, awal pekan ini, organisasi nonpemerintah yang mengkaji hukum lingkungan, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai landasan hukum pengadaan proyek food estate bermasalah. Selain itu, dalam kajiannya, ICEL menemukan bahwa pemerintah kerap mengubah atau membuat peraturan baru demi proyek yang berada di bawah kendali Kementerian Pertahanan itu.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, Adrianus Eryan menyebut yang berbahaya dari perubahan dan kemunculan peraturan baru terkait food estate itu adalah mengabaikan perlindungan lahan dan hutan.
Salah satu contoh, ia mengatakan dalam beberapa peraturan yang dikeluarkan, proyek food estate dapat dilakukan di atas hutan lindung. Bahkan, izin peruntukan lahan hutan juga diartikan sebagai izin untuk mengambil kayu.
"Sudah ada kebijakan, terus peraturannya justru diubah untuk mepermudah kebijakan tersebut. Yang dikorbankan perlindungan lingkungan dan hutan," kata Adrian dalam diskusi daring, Senin (22/11).
"Kami soroti ketika food estate mengguakan lahan lahan seperti lahan hutan lindung yang kemudian nanti akan bertambak ke hutan. Ini kami soroti dalam peraturan yang sempat muncul," imbuhnya.
Adrian menjelaskan pembangunan food estate mulanya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 24 Tahun 2020.
Dalam pasal 2 disebutkan, penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan dengan mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Lalu pada pasal 19 dikatakan, KHKP dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan/ atau di hutan produksi. Menurut Adrian, pasal ini bermasalah. Sebab, dalam aturan menteri kehutanan yang lain disebutkan bahwa peruntukan hutan lindung terbatas.
"Ketika dilaksanakan di hutan lindung, itu pohonnya akan ditebang atau gimana. kalau ditebang, padahal hutan lindung ini punya fungsi lindung sehingga tidak erosi/ banjir," kata dia.
[Gambas:Photo CNN]
Peraturan-peraturan Baru demi Food Estate
Sejumlah peraturan terkait food estate pun lahir sebagai turunan UU Ciptaker. Salah satunya pada awal 2021 keluar Peraturan Pemerintah No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Dalam pasal 115 oada PP tersebut secara gamblang, food estate diperbolehkan di hutan lindung.
"Ini agak terbalik ya karena di awal di aturan UU perhutanan sudah jelas, sudah bilang tidak boleh. Kemudian muncul permen dan PP yang memperbolehkan," ujar Adrian.
"Harusnya kan ketika ada pelanggaran kita berhenti, evaluasi jangan dilanggar. Tapi kenapa kemudian perturannya berubah. Itu yang jadi pertanyaan," imbuhnya.
Tak berhenti di situ, Adrian berkata, pada pertengahan tahun ini Menteri LHK kembali mengeluarkan Permen No 8 tahun 2021. Permen tersebut secara otomatis mencabut Pemen sebelumnya. Namun, permen baru itu diaggap semakin memberikan keleluasaan penggunaan hutan lindung.
Dalam Permen itu memang disebutkan bahwa lahan yang akan digunakan harus dipulihkan terlebih dahulu. Namun, Adrian menilai, hal itu kontradiktif. Sebab, setelah dipulihkan lahan tersebut kemungkinan akan menjadi rusak kembali.
Menurut pihaknya pohon pohon di hutan tersebut bisa saja dibabat demi proyek tersebut. Padahal, fungsi pohon pohon itu bisa mencegah erosi dan bencana lain.
Belum lagi, jika terdapat ekosisitem gambut, tanaman itu akan menjadi rusak dan tidak dapat menyerap air ketika turun hujan deras yang bisa menyebabkan banjir. Selain itu, KHKP juga kerap diartikan sebagai izin untuk pemanfaatan kayu.
"Dan bahkan KHKP tadi itu berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu. Ini ka menjadi kontradiktif. Lah kenapa kemudian pemulihan jadi sia-sia kalau seperti ini. Nah itu kalau kita lihat dari peraturannya," kata dia.
Selain itu, dalam peraturan teranyar, penyelenggaraan food estat bisa menggunakan Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dengan metode cepat.
Adrian menjelaskan, KLHS cepat tersebut tidak didasarkan pada riset, penelitian lapangan, pengambilan sampe dan sebagaimana seharusnya. Ia menyebut, dalam aturan baru itu, KLHS dapat dikeluarkan hanya berdasarkan pendapat ahli.
"Untuk proyek yang sebesar ini, hanya safeguide dengan menggunakan pendapat ahli semata? harusnya semakin besar proyeknya seharusnya safeguidenya semakin kuat," ucapnya.
"Maksudnya apa sudah ada kebijakan, terus pertaurannya justru diubah untuk mepermudah kebijakan tersebut. Yang dikorbankan perlindungan lingkungan dan hutan," tambahnya.
Diketahui, proyek lumbung pangan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu kembali diperbincangkan. Sejumlah LSM lingkungan menduga, proyek tersebut turut memicu banjir di sejumlah wilayah.
Beberapa waktu lalu, Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho Setyo Moeljono menegaskan food estate diperlukan agar RI memiliki lumbung pangan di luar Pulau Jawa. Pihaknya melihat penting untuk memiliki diversifikasi basis pangan di pulau-pulau besar di luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatra, guna menghindari krisis pangan di masa depan.
"Kita berharap dengan mengembangkan kawasan-kawasan sentra pangan yang dekat di lokasi distribusi dan konsumsi, diharapkan krisis pangan tidak terjadi di masa depan," kata dia.