Bahaya Laten Kekerasan Seksual Lingkungan Pendidikan: Dosen-Pacar

CNN Indonesia
Selasa, 30 Nov 2021 08:58 WIB
Catahu Komnas Perempuan 2021 mendata pada 2020 setidaknya ada 6.480 kasus kekerasan di hubungan personal, di mana 30 persen di antaranya kekerasan seksual.
Ilustrasi. Sepanjang 2015-2020, Komnas Perempuan menerima 51 laporan kasus kekerasan seksual dan diskriminasi. (Istockphoto/Markgoddard)

Aktivis perempuan sekaligus Pakar Hukum tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan maraknya kasus kekerasan seksual yang belakangan terungkap ke publik disebabkan dua hal.

Pertama, karena terdapat stimulus Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Kedua, saat ini mahasiswa lebih berdaya karena telah memahami kekerasan seksual.

"Di wilayah-wilayah lain seperti sekolahan juga amat sangat banyak tapi tidak dilaporkan karena sangat mungkin tidak punya kapasitas untuk melapor, mungkin belum sadar kalau itu kekerasan seksual," tutur Bivitri dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Rabu (24/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Infografis Ragam Laku Pelecehan Seksual

Bivitri menjelaskan penyebab kekerasan seksual dilakukan kalangan terdidik adalah karena persoalan adanya relasi kuasa antara pelaku atas korban.

Menurutnya, kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak terbatas dipengaruhi oleh jabatan dosen melainkan relasi kuasa yang bisa dimiliki oleh siapa saja.

"Menurut saya bukan soal jabatan dosen tapi siapapun yang punya kuasa dan bisa menggunakan relasi kuasa," tuturnya.

Infografis Kontak Darurat Pertolongan Pertama Kekerasan pada Perempuan new

Terpisah, Sekretaris Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU), Marzuki Wahid menyebut kejahatan kekerasan seksual lebih berat dari tindak pidana korupsi. Pasalnya, menurut dia, dampak kekerasan seksual tak bisa dipulihkan.

Marzuki berpendapat, trauma, kehormatan, kesucian, kemuliaan, martabat, adalah dampak dari kekerasan seksual yang diterima korban dan tidak bisa dipulihkan.

"Ini kekerasan seksual lebih berat daripada korupsi. Korupsi sudah berat, tapi kekerasan seksual lebih berat lagi," kata dia dalam diskusi di kompleks parlemen, Jumat (26/11).

Marzuki berharap agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bisa segera disahkan. Bukan saja sebagai produk hukum, sebagai orang yang beragama, dia menilai kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan masalah yang kritis.

Marzuki turut menegaskan pihaknya tak menemukan satu pasal pun dalam Rancangan Undang-undang TPKS yang melegalkan zina maupun LGBT. Oleh sebab itu, menurut dia masyarakat tak perlu khawatir atas pengesahan RUU tersebut jika disahkan.

RUU TPKS, terang Marzuki, justru disusun untuk melindungi korban kekerasan seksual. Terlebih, kekerasan seksual juga secara tegas telah diatur dalam agama sebagai tindakan yang tidak dibenarkan.

"Dalam perspektif agama sebenarnya sudah firmed soal kekerasan seksual, itu haram dan kemudian hukumnya wajib untuk dicegah," kata dia.

Oleh karena itu, Marzuki mengatakan pihaknya mengaku curiga penolakan terhadap RUU TPKS lebih bernuansa politis. Para penolak RUU antikekerasan seksual , kata dia. hanya kerap menggunakan dalil agama untuk menutupi kepentingan politik.

"Saya kira penting juga publik untuk memetakan, mana-mana, partai-partai yang menghambat, ya karena menurut saya ini soal hajat kemaslahatan publik dan saya kira saya terus terang setuju," katanya.

Setelah disetujui masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021, RUU TPKS kini masih dalam pembahasan di Badan Legislasi DPR. Sedikitnya lima fraksi masih menolak RUU itu untuk dibawa ke Rapat Paripurna untuk menjadi RUU inisiatif DPR.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Adhitya menyebut bahwa hingga kini baru empat fraksi yang setuju RUU TPKS dibawa ke rapat paripurna untuk menjadi hak inisiatif DPR. Empat fraksi masing-masing yakni, Nasdem, PKB, PDIP, dan Gerindra.

Sedangkan lima fraksi lainnya yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat disebut masih menolak.

Menurut Willy, nasib RUU TPKS akan ditentukan lewat voting. Jika mayoritas fraksi menolak, RUU yang diusung sejak 2012 tersebut terancam kandas.

"Kalau menang lanjut ke paripurna sebagai inisiatif DPR, kalau kalah ya gugur lah. Itu fungsi pleno," kata dia di kompleks parlemen, Jumat (26/11).

Willy tak secara jelas mengungkap alasan lima fraksi masih alot soal RUU tersebut. Pasalnya, enam poin krusial dalam RUU TPKS itu, kata dia, telah disepakati.

(iam/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER