Pengamat militer Khairul Fahmi menilai salah satu faktor pemicu bentrokan TNI-Polri adalah penanaman jiwa superioritas para prajurit. Menurutnya, baik TNI maupun Polri memang dicetak untuk bermental juara. Kesalahan dan kekalahan adalah hal yang dianggap sangat memalukan.
"Ini penyakit kambuhan. Berulang terus dan tidak pernah diobati dengan baik. Padahal kalaupun tidak bisa disembuhkan, setidaknya ada komitmen bersama untuk membenahi internal masing-masing, karena pemicunya ada di dalam rumah," kata Khairul.
Khairul menyatakan sepatutnya internal TNI dan Polri berbenah. TNI, kaya dia,sebagai institusi yang mestinya tidak banyak terlibat langsung dalam urusan-urusan publik, harus mengendalikan diri dari keterlibatan berlebihan dan tidak menonjolkan superioritasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai pembenahan itu bisa dilakukan pada pembentukan integritas moral dan praktik-praktik kepemimpinan terutama bagi para pimpinan/perwira di lapangan.
"Dan ini akan menjadi teladan bagi para personel di bawahnya," kata dia.
Pengamat militer dari Universitas Paramadina Anton Aliabbas menilai para pucuk pimpinan TNI dan Polri perlu memiliki komitmen dan penanganan bersama untuk mencegah hal serupa terulang kembali.
"Mereka [hukuman dan penindakan] akan bertaji tergantung pimpinannya. Harus ada komitmen, kita sama-sama menindak dan tak akan menolerir seperti itu. Dan ketegasan itu harus di level pimpinan. Jadi memang kita ingin membenahi ini ya harus ada komitmen bersama. Dan harus diakui dulu kita punya problem ini," kata Anton.
Anton mengatakan penyelesaian jangka pendek untuk meminimalisasi bentrokan itu bisa dilakukan dengan membentuk standar operasional prosedur bersama-sama TNI dan Polri. Semisal dengan membentuk investigasi dan penyelidikan bersama bila meletus kejadian tersebut.
"Di tentara bagaimana di polisi bagaimana. Kita punya desain bagaimana memperbaiki ini. Jadi tak hanya berdamai dan salaman. Kalau meletus kasus ada penyelidikan bersama. Gimana kalau kejadian nah ini ada SOP," ucapnya.
Tak hanya itu, Anton juga menyatakan instrumen sanksi tegas bagi para komandan lapangan juga perlu ditetapkan untuk mencegah bentrokan terulang. Baginya, komandan lapangan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap perilaku anak buahnya di lapangan.
Baginya, sanksi berat diberikan kepada mereka yang terlibat. Bila perlu, atasan yang terlibat atau bertanggungjawab juga diproses.
"Tergantung nanti pencopotan atau dan lainnya. Itu jadi harus ada yg tanggung jawab. Tak hanya berdamai dan selesai secara kekeluargaan. Gak bisa gitu juga," kata Anton.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI Sukamta. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyoroti faktor kecemburuan kesejahteraan antara prajurit TNI dan anggota Polri.
"Sebut saja secara bahasa kasarnya itu kecemburuan, sama-sama kapten antara prajurit TNI dengan Polri itu jauh sekali tingkat kesejahteraannya," kata dia, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (2/9/2020).
Ia pun meminta agar Kementerian Pertahanan (Kemhan) meningkatkan kesejahteraan anggota TNI.
"Kalau ini akar masalahnya, kita mau ancam dengan keras, mau kita disiplinkan bagaimana pun juga, sepanjang perasaan cemburu itu tidak diselesaikan ini akan bisa terus dipicu," tandas Sukamta.
(rzr/arh)